Okesip, Bahasa Jawa dan Madura Kromo Inggil

Suatu hari, sekitar 2 tahun yang lalu, saya terpesona dengan kehalusan tutur bahasa seorang bocah berusia 9 tahunan. Bocah tersebut, sebut saja Adhim, sehari-hari berkomunikasi menggunakan Jawa Kromo Inggil, tidak hanya kepada orang yang lebih tua saja, namun juga kepada teman sebaya.

" Wiih anak ini alus ya ngomong nya"
" Ya Allah pingin juga punya putra-putri yang halus tutur bahasanya seperti dia"
Mbatin saya spontan, waktu itu.

Lalu, saya mencari tahu tentang Adhim, dan ternyata saya sudah mengenal kedua orang tua Adhim sebelumnya, meski kurang dekat.
Dan seperti orang tua Jawa pada umumnya, lebih-lebih dikalangan pesantren, orang tua Adhim juga membiasakan putra-putrinya berkromoinggil sejak kecil dengan cara menggunakan kromoinggil ketika berkomunikasi kepada putra-putrinya.

Saya pribadi, waktu kecil dulu juga dibiasakan berkromoinggil oleh Ummi yang Jawa tulen. Beliau selalu menggunakan bahasa Jawa kromoinggil kepada kami putra-putrinya.
Namun karena Abah adalah Madura (Situbondo) dan saya sejak lahir sampai dewasa menginjak tanah, meminum air dan menghirup udara madura serta mendapat suami orang madura pulak 😀 maka pada perkembangannya  menyebabkan saya lebih fasih berkromoInggil Madura.

Sebenarnya saya seringkali bertemu dengan anak kecil yang fasih berkromoinggil jawa, namun pertemuan dengan Adhim lebih istemewa, dan menjadikan saya merenung betapa luhurnya budaya bangsa. Salah satu contohnya bahasa Jawa dan Madura dengan beberapa tingkatan bahasa didalamnya. Harus diakui bahwa tingkatan bahasa yang terdapat dalam bahasa Jawa dan bahasa Madura, turut memberi andil dalam membentuk Akhlaqul Karimah bangsa Indonesia, terutama yang tinggal didaerah Jawa dan Madura.
Seperti diketahui, bahasa Jawa dan Madura itu penuh tatakrama.  Bagaimana seharusnya bila kita berbicara terhadap orang tua, bagaimana bila kita berbicara pada teman sebaya atau yang lebih muda, bahkan terhadap binatang ada juga tatakrama bahasa tersendiri. Contohnya penggunaan kata ganti orang kedua saja sudah berbeda antara kepada orang tua dan yang sebaya. Di Jawa dan Madura untuk menyebut orang tua adalah panjenengan dan yang lebih muda sampeyan.
Dan kata ganti untuk orang kedua yang usianya lebih tua ini, menurut saya belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Ada memang yaitu kata anda, namun kok kurang gimana gitu :). Makanya ketika berbahasa Indonesia pun, saya lebih suka tetap menggunakan Panjenengan sebagai kata ganti orang kedua bila lawan bicara saya usianya lebih tua.

Saya kurang faham apakah dalam bahasa daerah lain juga terdapat tingkatan bahasanya. Sunda, aceh, atau minang misalnya. Bila ada, berarti konstribusi bahasa daerah sangat besar terhadap pembentukan kehalusan tutur bahasa masyarakat.

Bermula sejak saat itu, sembari saya belajar juga, saya bertekad untuk mengajak ananda berbahasa kromoinggil Jawa. Kenapa Jawa? bukankah saya lebih dekat dengan budaya Madura?  Ya karena kami hidup di Malang yang notàbene adalah Jawa.
Tidak muluk-muluk sih, karena memang ananda sejak kecil terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, minimal ananda bisa beberapa kata yang sering dipakai seperti "dalem" ketika menjawab panggilan, "panjenengan" untuk menyebut orang yang lebih tua, "sampeyan" untuk menyebut teman sebaya atau yang lebih muda, "enggih" ketika menjawab pertanyaan yang butuh jawaban ya, "matursembahnuwun" untuk menyatakan terimakasih, "ngapunten" untuk memohon maaf, "sampun" untuk menyatakan sudah, "dereng" untuk menyatakan belum dsb.

Demikianlah,
Meski sejak kecil ananda  terbiasa berbahasa Indonesia, saya tetap berharap anak-anak  bisa berkromo inggil terutama kepada yang lebih tua. Karena santun dalam bertuturkata adalah cermin akhlak mulia.

Semoga

Malang, 29/8/2016
Bunda Farhanah

Tulisan pertama dipublikasikan di inspirasi.co

Comments