Memperingati Bulan Bahasa: Review Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya Hamka



Hari ini tanggal 31 Oktober, malam, semoga masih belum hilang moment untuk memublikasikan tulisan ini dalam rangka memperingati bulan bahasa 2016.

Yaaa sebagai seorang penikmat sastra sekaligus penulis amatiran :D, saya merasa perlu untuk merayakan bulan bahasa yang telah ditetapkan oleh pemerintah tiap bulan Oktober. Adapun yang melatarbelakangi penetapan bulan Oktober sebagai bulan bahasa karena sebuah peristiwa bersejarah yang menjadi tonggak bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Salah satu ikrar dalam sumpah itu ialah bahwa pemuda-pemudi Indonesia mengaku berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa di antara ratusan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dan untuk merayakan bulan bahasa ini saya memilih mereview sebuah novel sastra lama karya Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Alasan saya kenapa mereview novel ini karena novel yang tebalnya 214 halaman dan telah di cetak ulang lebih dari 25 kali ini, bahasanya indah dan halus khas sastra lama dan sarat pesan moral yang masih relevan sampai sekarang. Menceritakan sebuah kisah cinta murni di antara dua anak manusia yang dilandasi keikhlasan dan kesucian jiwa. Dengan latar belakang zaman sebelum kemerdekaan dengan peraturan-peraturan adat pusaka minang yang kokoh dan kuat.

Adalah Zainuddin, tokoh utama laki-laki dalam novel ini adalah seorang anak muda yang santun dan rajin menimba ilmu-ilmu agama. Zainuddin telah yatim piatu sejak kecil. Lahir di tanah Mangkassar (Makassar) dari ayah asli Minangkabau dan ibu asli Makassar.

Ayah Zainuddin memiliki gelar Pandekar Sutan, adalah orang Minang yang terbuang ( kalau istilah sekarang, orang terbuang = di hukum penjara = narapidana). Pandekar Sutan di penjara karena membunuh orang yang masih mamaknya (tante, saudara perempuan ibu) sendiri, membunuh karena membela diri, harga diri dan harta bendanya yang sah. Setelah mendekam di penjara selama 15 tahun, dengan berpindah-pindah penjara mulai dari penjara Padang Panjang, Cilacap sampai Makassar, maka bebaslah Pandekar Sutan ketika di Makassar. Dan setelah beberapa waktu menghirup udara kebebasan di Mangkassar, karena kehalusan akhlak dan tuturbahasanya, akhirnya Pandekar Sutan di ambil menantu oleh seorang keturunan melayu yang menjadi tempatnya berguru, untuk dinikahkan dengan putrinya yang masih perawan nan halus budiperketinya, Daeng Habibah namanya.

Dari pasangan yang beragama dengan taat dan berakhlakmulia inilah lahir Zainuddin.
Namun sayang, Daeng Habibah meninggal saat Zainuddin baru belajar berdiri, dan Pandekar Sutan meninggal saat Zainuddin baru saja pandai berlari kesana kemari. Pengasuhan Zainuddin selanjutnya jatuh pada seorang perempuan tua yang masih kerabat jauh ibunya. Beruntung, perempuan tua yang di panggil Mak Base ini juga seorang perempuan yang beragama dengan taat, penuh kasih sayang dan berbudi pekerti indah. Maka Zainuddin tumbuh menjadi anak yang taat dan berakhlak mulia.

Ketika telah menginjak remaja, Zainuddin mengungkapkan keinginan kepada Mak Base untuk pergi ke tanah Minang, tanah tumpah darah ayahnya, guna menuntut ilmu dan menyambung keluarga dari pihak ayahnya yang telah lama hilang. Dengan deraian airmata, Mak Base melepas anak asuhnya di dermaga Jumpandang. Doa-doa keselamatan dirapalnya supaya anak asuhnya tiba di tanah Minang dengan selamat dan bertemu dengan keluarganya serta dapat di terima dengan baik.

Zainudin pun sampai di tanah Minang, di terima dengan baik oleh keluarga besarnya dan telah rajin menuntut ilmu-ilmu agama. Tanah Minang adalah surga bagi para penimba ilmu-ilmu agama.
Di tanah di mana gunung Merapi dan Singgalang tegak berdiri ini kisah cinta Zainuddin dan Hayati tergelar. Hayati, seorang gadis cantik binaan kampung halaman dengan sawah yang bertumpuk dan sungai yang meliuk.
Kisah cinta dua orang anak manusia yang dilandasi kesucian jiwa. Malu bertatap muka, tak berani berduaan, tak berani bersenda gurau. Rasa takut yang timbul semata karena takut pada Tuhannya. Berkirim dan berbalas surat adalah cara yang mereka pilih untuk berkomunikasi.

Namun sayang, kisah cinta mereka harus kandas karena Zainuddin adalah anak pisang suku Minang. Minang adalah suku yang berbangsa pada ibu, dan ibu Zainuddin adalah orang luar Minang. Jadi kemanakah Zainuddin akan berbako (mengambil marga)? Dalam adat Minang Zainuddin tak berbako pada siapapun dan di anggap  tak punya asal usul yang jelas, sehingga menurut adat tak boleh menikah dengan gadis Minang.

Karena di tolak, Zainuddin pergi ke Padang Panjang. Lebih baik kembali pada tujuan semula, berangkat ke Minang adalah untuk menuntut ilmu, begitu tekad Zainuddin.
Dan Hayati dinikahkan dengan pemuda lain yang bernama Aziz.

Singkat cerita, penderitaan hati karena cinta, membuat Zainuddin melampiaskannya dengan menulis . Menulis roman-romancinta yang indah namun berakhir nestapa adalah ciri tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya ini diterbitkan dan meledak di pasaran. Membuat Zainuddin lambat laun menjadi orang kaya. Di kemudian hari, untuk mengembangkan karir kepenulisannya, Zainuddin hijrah ke Surabaya. Waktu itu Surabaya telah menjadi kota sibuk dengan perniagaan dan juga banyak terdapat pesantren.

Di lain pihak, pernikahan Hayati ternyata kurang bahagia. Takdir mempertemukan mereka kembali. Hayati yang mengikuti suaminya, Aziz, yang bertugas di Surabaya secara tak sengaja berjumpa lagi dengan Zainuddin. Karena di lilit hutang Aziz meminjam uang pada Zainuddin untuk membayar hutangnya. Tak hanya itu Aziz juga meninggalkan Hayati di rumah Zainuddin. Aziz pergi untuk suatu urusan di luar kota. Namun Aziz tak pernah kembali menjemput istrinya bahkan meninggal di rantau karena bunuh diri akibat tak kuat menanggung hutang.

Zainuddin yang setiap hari kini bertemu Hayati, bukannya merasa bahagia. Meski pada dasarnya masih mencintai Hayati, namun hatinya masih tertutup sakit hati karena Hayati telah menikahi Aziz. Zainuddin masih menganggap Hayati dulu telah menghianatinya.
Lalu dipanggilnya Hayati dan mengatakan bahwa dia tak bisa hidup satu rumah dengan wanita yang bukan mahromnya, maka dibelikannya Hayati tiket pulang ke Minang. Meski harapannya besar untuk kembali pada Zainuddin namun Hayati tak berdaya menolak.
Dan pada hari yang ditentukan berangkatlah Hayati ke Minang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck. Yang pada akhirnya kapal tersebut diberitakan tenggelam di daerah perairan Tuban dan Hayati menjadi salah satu  korban dalam musibah itu.

Zainuddin di rundung sesal yang tak berkesudahan. Bagaimana dia bisa mengirim Hayati pulang ke Minang padahal mereka berdua masih saling mencinta?
Setahun sejak kematian Hayati, Zainuddin meninggal dan dikuburkan bersebelahan dengan pusara Hayati.

***
Demikianlah review singkat dari novel sastra lama berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Ada beberapa pelajaran yang bisa di ambil dari kisah ini, yaitu:

1. Setelah ketaatan kepada Tuhan, Akhlakul Karimah adalah hal yang utama  yang harus di jaga oleh seorang muslim, terutama dalam berinteraksi dalam masyarakat.
2. Tidak ada manfaat memelihara dendam. Hanya sesal yang akan di dapat.

Semoga bermanfaat


Malang, 31 Oktober 2016

Bunda Farhanah

#onedayonepost
#reviewbuku






Comments