Guru: Seorang Yang Kusebut Orang Tua Kedua

Terima kasihku kuucapkan 
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan 
Untuk bekalku nanti

Setiap hariku dibimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kan ku ingat selalu nasihat guruku
Terimakasihku guruku

Syair diatas adalah lirik lagu Terima Kasih Guru ciptaan Sri Widodo.



Dulu ketika masih usia Sekolah Dasar, saya ingat, saya selalu bersemangat ketika menyanyikan lagu ini (namun mohon jangan tanyakan tentang merdu atau tidaknya suara saya ya, hehe) bahkan juga mencoba memainkan not-nya di pianika. Kini pun, setiap kali mendengar lagu ini dikumandangkan, hati ini langsung gerimis. Terbayang sosok bapak dan ibu guru yang dengan segala usaha telah mendidik dengan sepenuh hati.

Bapak dan ibu guru bisa di sebut sebagai orang tua kedua kita. Sebagaimana orang tua, maka beliau para bapak dan ibu guru  berhak mendapatkan penghormatan dan doa dari kita, juga karena mengingat jasa para guru sangat besar dalam kehidupan kita. Tak ada istilah mantan guru yang ada hanyalah guru sejati.

Saya memiliki banyak sekali pengalaman lucu, mengharukan sekaligus memalukan (bagi saya) bersama bapak dan ibu guru yang saya ingat sampai kini. Saya akan coba tuliskan 2 (dua) diantaranya di sini. Ya semata sebagai pengingat bagi diri ini bahwa betapa besarnya jasa para guru.

*

Ketika itu saya duduk di TK Nol Besar di desa Omben Sampang, jam pelajaran di kelas sedang berlangsung seru, menyanyi, menari, tepuk tangan dan sebagainya, yah pokoknya pelajaran anak TK-lah. Tiba-tiba saya merasakan ingin (maaf) BAB, namun saya malu mengatakannya pada bu guru, namanya bu Ratmi, saya menahannya sekuat tenaga berharap segera waktunya pulang dan menunaikan hasrat ini di rumah. Akhirnya karena tidak tahan terjadilah yang tak diinginkan itu.

Apakah gerangan? betul, saya pun BAB di celana, di dalam kelas, oh My God. Awalnya tidak ada yang tahu, namun lama kelamaan bau tak sedap ini sampai juga di hidung seluruh penghuni kelas, membuat suasana kelas yang tadinya semarak menjadi senyap. Semua saling berpandangan, mencari tahu siapakah penyebab aroma tak sedap ini. Pandangan bu Ratmi berkeliling dan berhenti di wajah saya. "Asni BAB ya ?" tanya beliau, dan saya jawab dengan anggukan pelan.

Tanpa ada kemarahan dan pertanyaan lanjutan lagi, beliau langsung membopong saya ke kamar mandi dan menyeboki sampai bersih, tak lupa saya dipinjami baju anaknya karena baju saya kotor dan tidak bisa dipakai lagi, kebetulan rumah bu Ratmi dekat dengan TK kami. Ternyata berikutnya, saya menyukai baju anak bu Ratmi dan tidak boleh saya kembalikan. Ini membuat ibu saya malu untuk kedua kalinya. Akhirnya dengan muka tertunduk dan ucapan beribu maaf kepada bu Ratmi, ibu mengganti baju anak bu Ratmi dengan baju baru.
Semoga keberkahan selalu melingkupi panjenengan sekeluarga, Bu.

Kisah kedua, ini tentang guru les saya ketika SD. Jadi ceritanya, ayah saya pindah tugas dari desa Omben ke kota Sampang ketika kami (saya dan kakak) memasuki usia SD. Untuk memudahkan dalam belajar membaca Al-Quran dan juga memahami pelajaran sekolah, maka orang tua mengundang seorang guru les namanya pak Tikno ke rumah kami.

Jam belajar kami bersama pak Tikno adalah 6 (enam) kali seminggu, mulai malam senin sampai malam sabtu. Waktunya selepas maghrib sampai jam setengah 8  malam. Sebenarnya kami enjoy saja belajàr bersama pak Tikno, beliau humoris dan suka bercerita. Namun kami terkadang jenuh juga. Bayangkan, kegiatan kami sudah penuh seharian. Pagi kami belajar di SD, sore di Madrasah Diniyah, lalu malamnya belajar bersama pak Tikno di rumah. Kalau jenuh sudah sampai di puncak ubun-ubun maka kami akan melakukan "makar" pada pak Tikno, mogok belajar, biasanya yang kami lakukan adalah lari dan bersembunyi di bukit di dekat rumah. Sambil menahan tawa kami mengintip Pak Tikno yang kebingungan mencari kami di tengah kegelapan.

Atau di lain waktu kami pura-pura tertidur dan tidak menyimak apa yang disampaikan pak Tikno. Tentu ini semua kami lakukan bila orang tua sedang tidak di rumah. Namun pak Tikno adalah guru yang sabar luar biasa dalam menghadapi "kenakalan" kami. Beliau tidak pernah marah dan tak pernah melaporkan ulah kami pada orang tua. Kami belajar bersama pak Tikno sampai lulus SD.

Ketika duduk di SMP, saya dikabari bahwa pak Tikno meninggal karena sakit keras, saya menangis waktu itu. Ternyata kabar itu hanya isu. Memang beliau sakit hingga kritis, namun beliau selamat. Setelah benar-benar pulih dari sakitnya, pak Tikno memutuskan pulang kampung ke kota asalnya yaitu Bojonegoro. Saya melepas pak Tikno dengan dada sesak. Semoga panjenengan sekeluarga selalu dalam lindungan dan ridho Allah pak, dunia dan akhirat. amin.

*
Sekarang kita beralih dari cerita masa kecil saya yang tidak terlalu penting ini ke kisah ulama dalam menghargai guru-guru mereka.

Penghargaan terhadap guru sebenarnya telah dicontohkan 1400 tahun oleh Sayyidina Ali KW, sepupu, shahabat sekaligus menantu Rasulullah. Terbukti dari ucapan Sayyidina Ali yang terkenal yaitu "ana 'abdun man 'allamani harfan wahidan" yang berarti "aku adalah hamba sahaya dari orang mengajariku satu huruf". Sebuah ucapan tulus dari seorang pencinta ilmu untuk menghormati siapapun yang telah berjasa mengajarkan ilmu pengetahuan walau hanya satu huruf.

Seorang murid Imam Malik, yaitu Abdurrahman Al-Qosim  mengatakan bahwa selama 20 tahun belajar pada Imam Malik, hanya 2 tahun beliau mempelajari ilmu, sedangkan 18 tahun sisanya digunakan untuk berkhidmat (berbakti) pada Imam Malik.

Imam Syafi'i mengatakan bahwa beliau membuka lembaran kitab di hadapan Imam Malik dengan sangat lembut dan hati-hati. Dengan tujuan Imam Malik tidak mendengar bunyi lembaran kitab itu di buka. Hal ini dilakukan Imam Syafi'i karena saking hormat pada Imam Malik sebagai gurunya.

Khalifah Harun Ar Rasyid konon mengijinkan anaknya bila harus dihukum fisik oleh gurunya, karena beliau sudah memasrahkan pendidikan putranya pada gurunya.

Pun demikian dalam pandangan bangsa Indonesia, guru memiliki kedudukan tinggi di masyarakat.
Dalam masyarakat Jawa, secara sosio-kultural guru adalah profesi yang terhormat. Hal ini terungkap dari kata “guru” yang dalam bahasa Jawa, yang merupakan kependekan dari digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh).

*

Demikianlah

Teriring doa semoga saya, panjenengan dan anak cucu, termasuk orang-orang yang  selalu hormat pada guru dan tak lupa untuk selalu menyisipkan guru-guru dalam doa-doa panjang kita amin.

Wallahua'lam

Malang, 28 November 2016

Bunda Farhanah

#onedayonepost
#selamathariguru


Comments

  1. Kisah yang pertama aib tuh... hahahaha.... Lucu...

    Oh iya, andai saja anak-anak didik di Indonesia bisa begitu hormat dna patuh pada gurunya, barangkali pendidikan negara kita bisa lebih baik, ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya bang hanya ingin menunjukkan bahwa bu Ratmi tulus sekali

      Delete
  2. Ah ternyataa gini pas Mbak masih TK wkwk

    ReplyDelete

Post a Comment