I'm Me When Writing


Gambar diambil dari Google

  
"Ikatlah ilmu dengan menuliskannya"

     Quote diatas adalah dawuh Sayyidina Ali Bin Abi Tholib. Aku memaknai pernyataan menantu Baginda SAW adalah bahwa ilmu yang hanya diingat-ingat pasti akan menguap dan mudah terlupakan, bagaimanapun pandainya seseorang pasti akan mengalami masa-masa dimana kinerja otak semakin menurun, maka menuliskan ilmu atau hikmah yang didapat adalah cara terbaik untuk mengikatnya. Ilmu yang ditulis tersebut bisa dibaca ulang, dikoreksi bahkan bisa menginpirasi munculnya ilmu atau penemuan baru.

     Entah kapan tepatnya aku membaca dawuh Sayyidina Ali  yang sangat membekas di hati itu. Yang pasti setelahnya, ketika membuat sebuah kue, aku selalu mencatat resep yang digunakan. Berapa jumlah pemakaian telur, gula, tepung, margarin atau cokelat yang dibutuhkan. Aku juga mencatat berapa waktu dan suhu yang diperlukan dan memberi  komentar terhadap hasil kue atau roti yang telah matang. Kira-kira apa yang masih kurang. Kurang manis kah, kurang asin kah, kurang empuk kah dan sebagainya. Kelak ketika mencoba lagi, maka catatan komentar itu akan menjadi acuan mengenai bahan apa yang akan ditambah, dikurangi, atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan bahan baru. Begitu seterusnya sampai aku mendapatkan resep yang paling pas untuk sebuah kue. Secara sederhana ini mungkin bisa dikategorikan sebagai menulis itu mengikat ilmu.

     Tentang menulis, ini bukanlah hal yang baru bagiku. Di keluarga, kakek buyut menulis beberapa kitab yang dipakai internal untuk keperluan mengajar para santri. Lalu ibu, suka menulis artikel dan telah menerbitkan tiga buku yang semuanya bertema pendidikan. Pun demikian dengan suami, menulis yang berkaitan dengan disiplin ilmunya. Aku sendiri, sejak kecil suka menulis diary, puisi dan surat pada sahabat pena. Waktu itu belum ada SMS apalagi WA, jadi berkirim surat adalah hiburan menyenangkan bagiku. Ah, jadi ingat, kalau dulu pernah punya beberapa sahabat pena dari beberapa kota di Nusantara yang alamatnya aku dapat dari majalah Bobo. Kepada sahabat pena, aku suka menulis panjang lebar tentang kota tampat tinggalku. Sayang sekali, kumpulan surat pada sahabat pena itu raib, mungkin terbuang waktu kami sekeluarga pindah rumah. Aku membayangkan, jika bendel surat itu masih ada, pasti akan geli sendiri jika membacanya kembali. Jangankan tulisan masa kecil, lha wong membaca ulang tulisan-tulisan di kolom catatan facebook yang aku unggah dalam kurun waktu 2009-2015 udah geli aja.

     Meski demikian, kebangkitanku di dunia literasi baru pada Agustus 2016. Terutama setelah bergabung di Onedayonepost dan membuat blog sendiri pada akhir September 2016, rasanya semangat menulis itu semakin bertambah-tambah. Ide terus datang membanjiri kepala yang bila tak segera ditulis membikin badan panas dalam :). Seakan-akan aku dilahirkan untuk menulis. Menulis kini menjelma menjadi panggilan jiwa, i'm me when writing. Meski harus diakui terkadang semangat itu terbentur dengan kegiatan sehari-hari. Di blog aku menulis tentang apa saja. Mulai puisi, catatan harian, cerbung, cermin, opini sampai curhatan nggak jelas ;). Pokoknya apa yang terlintas di kepala saat itu, itulah yang aku tulis. Yang penting yang baik-baik dan ikhlas.
    
     Oiya mengenai niat dalam menulis. Sekali lagi NIAT,  hal inilah mungkin satu-satunya yang harus selalu diluruskan, bahwa niat menulis adalah harus ikhlas semata karena Tuhan. Aku akui, bahwa niat ini selalu saja mengalami pembelokan. Ingin terkenal, dapat uang, mendapat pujian atau apalah. Aku meyakini, menulis adalah satu cara mendulang pahala jariyah maka sudah seharusnya hal pertama yang harus selalu dijaga adalah niat. Misal dalam perkembangannya tulisan kita menjadi hits dan menghasilkan pendapatan, itu adalah bonus.

     Ada contoh yang paling populer dari ulama terdahulu dalam menjaga keikhlasan niat dalam menulis adalah tentang penulisan kitab Ajurumiyah, sebuah kitab pelajaran nahwu dasar dalam mempelajari bahasa arab yang dipakai hampir seluruh lembaga pendidikan agama islam di seluruh dunia sampai masa kini. Dikisahkan, bahwa setelah menulis kitab Ajjurumiyah (sekitar tahun 719 H/1319 M) Ibnu Ajjurum, sang penulis, membuang kitab tersebut ke laut dan berkata "Kalau memang niatku menulis kitab ini adalah semata ikhlas karena Allah, niscaya tidak akan basah". Ternyata kitab tersebut kembali ke pantai tanpa basah sedikit pun.

Contoh lain lagi, Imam Al-Ghazali penulis kitab Ihya' Ulumuddin, ketika akan menulis sebuah hadis, maka beliau akan berwudhu dan sholat sunnah beberapa rakaat terlebih dahulu, memohon petunjuk kepada Robb agar selalu diberi keikhlasan dalam menulis.

     Terakhir, terlahir sebagai makhluk berjenis manusia, kita memiliki kewajiban menuntut ilmu sejak buaian sampai masuk liang lahat. Menulis adalah salah satu caraku belajar, karena menulis menuntut kita untuk membaca. Yang mana membaca adalah pintu dalam mereguk ilmu. Dengan menulis pula, aku ingin anak-anak tahu bahwa ibunya tak pernah berhenti menuntut ilmu walau ibu rumah tangga saja di rumah.

     


Wallahua'lam

Malang, 25 Mei 2017


#onedayonepost
#Tantangan


Comments

  1. Bundaa bijak yanh makin keren❤❤

    ReplyDelete
  2. Wah ... Keluarga penulis rupanya, pantas tulisan Mbak Nazlah selalu keren.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kan setiap orang secara alamiah adalah penulis :)

      Delete
    2. kan setiap orang secara alamiah adalah penulis :)

      Delete
  3. Keren banget Mbak....😍😍👍

    Saya jadi belajar satu hal tentang pentingnya menulis resep dan memberi komentar. Heheh.

    ReplyDelete

Post a Comment