Media Sosial, Buku Indie dan Kemerdekaan Berliterasi, Menyoal Isu Penutupan Beberapa Media Sosial Oleh Kemeninfo



"Buku adalah obor, sekaligus kemudi bagi sejarah,” tulis Muhidin M. Dahlan dalam “Ideologi Saya adalah Pramis : Sosok, Pikiran, dan Tindakan Pramoedya Ananta Toer” (2016).

      
       Bisa dikatakan, ada dua hal yang berperan penting bagi perkembangan dunia literasi tanah air yang semakin menggeliat belakangan ini. Faktor pertama, keberadaan media sosial dan akses internet yang semakin mudah. Faktor kedua, bermunculannya penerbit indie yang selalu siap sedia menerbitkan naskah para penulis. 


Mari kita bahas dua faktor tersebut satu persatu.


  1.  Keberadaan media sosial dan akses internet yang semakin mudah.


       Ponsel pintar dan akses internet yang semakin mudah kini memudahkan seorang penulis untuk menuangkan idenya, fiksi maupun non fiksi dari berbagai macam genre, dengan menuliskan dan memublikasikannya di situs-situs kepenulisan, seperti blogspot, wattpad, inspirasi.co, onedayonepost, emakpintar dan sebagainya.

       Bagi penulis, memublikasikan tulisan merupakan tahap penting yang harus dilakukan. Tanpa publikasi, bagaimana mungkin orang lain dapat membaca ide dan karyanya? Untuk memperluas jangkauan pembaca, penulis dapat membagikan tulisan itu (share link) ke beberapa akun media sosial yang dimilikinya.  Disinilah peran media sosial yaitu sebagai ajang promosi produk, dimana produk penulis adalah tulisan atau buah pikirannya.


      2. Bermunculannya penerbit indie.


        Ada tiga macam jenis penerbitan yaitu  mayor, indie dan self publishing

             Penerbit mayor. 

       Penerbit mayor  adalah  penerbit dengan modal besar. Penulis cukup mengirimkan naskahnya. Modal/biaya penerbitan, desain cover, editing, lay out, ISBN dan pemasaran adalah tanggung jawab penerbit. Penulis akan menerima royalti dari hasil penjualan bukunya.
Masalahnya, menerbitkan buku di penerbit mayor tidak mudah. Harus melalui seleksi ketat apalagi bila penulis belum mempunyai nama. Mengirim naskah ke penerbit mayor itu berarti seorang penulis harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan kepastian bahwa naskahnya akan terbit atau tidak.


         Penerbit Indie.

     Penerbit indie adalah alternatif lain bagi seorang penulis untuk membukukan karyanya. Dengan biaya murah, seorang penulis dapat menerbitkan buku melalui penerbit indie. Selain itu, seleksi naskah pada penerbitan indie tidak seketat penerbit mayor. Jumlah buku yang akan dicetak pun bisa disesuaikan dengan modal yang dimiliki penulis.

     Intinya penerbit indie menjual jasa untuk menerbitkan buku, lengkap dengan jasa pengerjaan desain cover, editing, lay out dan pengurusan ISBN. Mereka juga membantu memasarkan buku dengan menayangkannya di situs dan jejaring sosial.

  
       Self Publishing.

    Sejatinya  self publishing adalah mencetak buku secara mandiri. Karena segala urusan penerbitan buku yang meliputi biaya, editing, desain cover, lay out, pengurusan ISBN hingga pemasaran adalah urusan penulis. Percetakan hanya mencetak buku sesuai permintaan. 


      
       Tak dipungkiri, penerbit indie dan media sosial adalah dua hal yang menjadi pintu kemerdekaan literasi tanah air yang selama ini terkungkung oleh industri perbukuan yang dikuasai oleh penerbit mayor. Dengan adanya penerbit indie, seorang pegiat literasi bisa dengan mudah membukukan karya-karya bermutunya tanpa harus menunggu berbulan-bulan. Hal ini ditegaskan oleh guru besar Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang Profesor Djoko Saryono dalam seminar yang diselenggarakan pada even Pesta Malang Sejuta Buku, Ketemu Buku, Banyak Buku yang tak Kamu Tahu. Beliau menyatakan bahwa  siapapun berhak mencetak, mendistribusikan sendiri, menentukan pasar sendiri, tidak bergantung kepada industri perbukuan.
 
      Pernyataan Profesor Djoko tersebut bisa dipahami karena mengenai pemasaran, kecanggihan akses internet dan media sosial menjadi solusi bagi penulis dan penerbit indie untuk mengenalkan dan memasarkan buku-buku mereka.

       Era digital dengan segala kemajuan teknologinya juga membantu penerbit indie untuk menghasilkan buku dengan kualitas cetak yang bagus dan tak kalah bermutu dengan penerbit mayor. Bahkan teknologi xerografi memungkinkan mencetak buku dengan sistem POD (print of demand).

        Maka isu penutupan sejumlah media sosial oleh Kemeninfo belakangan ini, bila benar-benar terjadi bisa menjadi kemunduran bagi dunia literasi tanah air. 

       Terakhir, teriring doa semoga bangsa ini dapat semakin bijak dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan internet dan media sosial. Amin.



Wallahua’lam

Malang, 17 Juli 2017
Bunda Farhanah

Comments

Post a Comment