Keraton Kasepuhan Cirebon, Pusat Dakwah Islam Pertama di Pasundan

Gerbang Keraton


Semasa SMA dulu, saya memiliki seorang sahabat pena dari kota Cirebon. Kami bertemu di Bukit Rawi Palangkaraya pada acara Perkemahan Wirakarya Nasional 1995. Dia utusan dari SMA 1 Kota Cirebon dan saya dari SMA 1 Sampang. Kok ingat banget sih saya? Ya, karena  selepas even itu dan kembali ke daerah masing-masing, kami tetap rajin menjalin persahabatan melalui korespondensi. Maklum, zaman dulu kan belum ada internet. Maka dari itu, ketika akan menulis tentang Keraton Cirebon ini, mau nggak mau saya jadi teringat pada sosok sahabat pena yang baik itu. Semoga dia dan keluarga selalu dalam keadaan sehat walafiat, Amin.

Okelah, paragraf di atas hanya sekedar intro, jangan dimasukkan hati apalagi jantung, ya, hehehehe. Mari kita kembali pada pokok persoalan yaitu Keraton Kasepuhan Cirebon dimana kami berkesempatan mengunjunginya pada tanggal 24 Desember 2012. Sudah lama memang, tapi nggak apa kan bila ditulis sekarang?

Cirebon adalah kota yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri. Letak strategis secara geografis yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah membuatnya istimewa dalam hal budaya. Budaya Sunda dan Jawa berbaur dengan apik di sini, namun tak ada yang paling dominan. Bisa dikatakan Cirebon merupakan gerbang budaya Sunda sekaligus Jawa. 

Selain itu, sebagai kota yang terletak di tepi pantai, membuat Cirebon tumbuh menjadi kota pelabuhan. Sejak dahulu hingga kini, pelabuhan Cirebon merupakan salah satu pelabuhan penting dan ramai di pesisir utara pulau Jawa. 

Begitu juga dalam sejarah perkembangan agama Islam di Jawa khususnya Jawa Barat, Cirebon memiliki peranan penting. Selain sebagai sentral penyebaran, kota ini juga merupakan pusat pemerintahan Islam di Jawa Barat. Hal ini dapat terlihat dari peninggalan berupa keraton yang merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon yang bercorak Islam.

Sejenak, mari kita buka kembali sejarah nusantara. Jasmerah, jangan lupakan sejarah begitu ucap Bung Karno. Dari sini, kita akan mahfum bahwa Kesultanan Islam Cirebon yang merupakan kesultanan Islam pertama di tanah pasundan, erat pertalian darahnya dengan Kerajaan Hindu Sunda Pajajaran, karena pendiri kesultanan ini adalah Pangeran Walangsungsang, putra dari Sri Baduga Prabu Siliwingi dengan istri pertamanya, Nyai Subanglarang (putri dari Mangkubumi Mertasinga, Singapura).

Sebagai anak laki-laki tertua, pada awalnya pangeran Walangsungsang berstatus sebagai putra mahkota Kerajaan Pajajaran. Namun karena pangeran Walangsungsang memilih memeluk agama Islam seperti agama ibunya, sedangkan Pajajaran adalah kerajaan hindu, maka ia harus rela melepaskan status itu  pada adiknya yaitu Surawisesa. Surawisesa adalah putra Prabu Siliwangi dari istri kedua yang beragama hindu yaitu Nyai Cantring Manikmayang.

Lalu oleh ayahandanya, Pangeran Walangsungsang dipinggirkan ke wilayah di pantai utara pulau Jawa yang tidak begitu ramai bernama Caruban-Sarumban. Di sini Pangeran Walangsungsang menikah dengan putri dari sesepuh/pendiri/kuwu desa (Ki Danu Sela) yang bernama Nyai Kencana Larang. Bersama mertuanya itu, Pangeran Walangsungsang mengelola pedukuhan tersebut. Bahkan oleh mertuanya, Pangeran Walangsungsang diberi jabatan sebagai Raksabumi yaitu seseorang yang mengurus tatakelola bumi meliputi pertanian, pengairan serta bangunan. Karena jabatan itu, pangeran Walangsungsang dijuluki sebagai Ki Cakrabuana.

Setelah wafatnya sang mertua, Ki Danu Sela, Ki Cakrabuana atau pangeran Walangsungsang mewarisi jabatan sebagai Kuwu Desa. Dalam masa pemerintahannya ini, Caruban-Sarumban semakin ramai bahkan tampil sebagai penyuplai bahan baku penyedap rasa (garam dan terasi) terbesar untuk kerajaan Pajajaran. Selain itu, pelabuhan Caruban-Sarumban juga semakin ramai dan berkembang menjadi pelabuhan besar dan penting. 

Karena hasil terasi yang terkenal ini, lama-kelamaan desa Caruban-Sarumban dikenal dengan nama Cirebon yang berasal dari kata Ci(air) dan rebon (udang). Cirebon yang dulu jarang sekali dilirik oleh pusat pemerintahan Pajajaran, kini semakin mendapat perhatian. Bahkan setelah tahu bahwa kuwu desa Cirebon kini adalah putranya sendiri yang dulu ia pinggirkan, Prabu Siliwangi bangga dan segera menjadikan Cirebon sebagai Kadipaten dan mengangkat Pangeran Walangsungsang sebagai Adipati pertama dengan gelar Sri Magana, meski dengan catatan setiap tahun Cirebon harus mengirim terasi dan garam sebagai tanda pajak atau kepatuhan pada pusat pemerintahan.

Ki Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang yang seorang muslim taat, memimpin Cirebon dengan adil dan bijaksana sesuai syariat Islam. Ia menerapkan aturan agama Islam dalam semua sendi pemerintahan dan kemasyarakatan. Hal ini menjadikan Cirebon tumbuh menjadi Kadipaten Islam pertama di pesisir utara Jawa di bawah kekuasaan Pajajaran yang hindu. Sementara itu rakyat Cirebon yang kini tahu bahwa Cakrabuana adalah tak lain putra Prabu Siliwangi semakin menaruh hormat dan patuh pada kepemimpinannya.

Cirebon semakin jaya dengan keislamannya dan berkembang menjadi pusat dakwah di tanah Pasundan setelah kedatangan Syarif Hidayatullah dari Timur tengah yang tak lain keponakan Ki Cakrabuana. Syarif Hidayatullah adalah putra dari Nyai Rarasantang (putri Prabu Siliwangi, adik dari Cakrabuana) dengan seorang penguasa/Ulama Mesir yang bergelar Sultan Mahmud (Sultan Hud). Jadi Syarif Hidayatullah tak lain adalah cucu Prabu Siliwangi. 

Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya yang bernama Nyai Dalem Pakungwati. Berkat Syarif Hidayatullah ini, Kadipaten Cirebon dapat menjalin hubungan baik dengan kesultanan Islam di Nusantara seperti Demak, Campa dan Pasai. Ini dikarenakan Syarif Hidayatullah adalah salah satu anggota Wali Songo, sebuah majelis wali yang bertugas menyebarkan Islam di tanah Jawa. 

Sementara itu, hubungan Cirebon dengan Pusat Kerajaan Pajajaran  menjadi buruk setelah peristiwa perjanjian Pajajaran dan Portugis pada Tanggal 21 Agustus 1522 Masehi.

Disatu sisi Pajajaran ingin memperkuat negerinya dengan cara menjalin persekutuan dengan Portugis, disatu sisi lainnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara khawatir jika Portugis diberi kekuasaan di Jawa suatu waktu akan menghancurkan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, sebagaimana yang telah dilakukan Portugis pada Pasai di Sumatra dan Malaka di Semenanjung Melayu.

Menghadapi masalah tersebut, Cirebon kemudian lebih memilih bersekutu dengan Demak menentang persekutuan Pajajaran dan Portugis. Peristiwa inilah yang oleh sejarawan ditenggarai sebagai sebab musabab Cirebon memproklamirkan diri merdeka dari Pajajaran dan menyatakan pendirian Kerajaan Islam Cirebon.

Dalam versi lain, sebagaimana tertulis dalam sejarah Kabupaten Cirebon, Cirebon memisahkan diri dari Pajajaran terjadi pada Tahun 1482 yaitu dalam tahun kedua setelah Walangsungsang/ Cakrabuana menyerahkan jabatan sebagai penguasa Cirebon kepada keponakannya Syarif Hidayatullah.

Peristiwa pemroklamiran Cirebon sebagai negara merdeka ini, didukung oleh Kesultanan Demak dan para Tumenggung dan Adipati pesisir utara Jawa yang sudah menerima Islam. Sementara itu gelar yang disematkan kepada Syarif Hidayatullah selaku Raja Cirebon adalah Kanjeng Sinuhun Jati (Sunan Gunung Jati).
 
Selain memproklamirkan diri menjadi sebuah Kerajaan Islam yang merdeka dari Pajajaran, Cirebon juga kemudian meneguhkanya dengan perbuatan, dibuktikan mulai setelah itu kemudian Cirebon memutuskan untuk tidak lagi mengirimkan pajak tahunan berupa garam dan terasi ke Pajajaran.

Hal ini tentu membuat Pajajaran marah. Waktu itu garam dan terasi adalah komoditi penting bagi Pajajaran sebagai penyedap masakan. Konon dikisahkan para petinggi Pajajaran tidak bisa menerima masakan tanpa ada campuran garam dan terasi di dalamnya.  Mereka mengirim 100 prajurit lawan tanding yang dilengkapi senjata bedhil/popor (senjata canggih pada zamannya) untuk memberi pelajaran pada Cirebon yang dianggap membangkang, namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Cirebon bahkan parjurit serta patihnya membelot dan masuk Islam serta menjadi murid setia Sunan Gunung Jati.

Peristiwa pemroklamiran kemerdekaan Cirebon dari Pajajaran serta penyerangan yang dilakukan oleh Pajajaran tercatat dalam Naskah Mertasinga, meskipun tidak secara spesifik menjelaskan latar belakangnya. Selain hal tersebut juga dikatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi ketika Prabu Siliwangi selaku Kakek Syarif Hidayatullah masih hidup. 

Pada masa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Cirebon banyak melakukan gebrakan-gebrakan politik dengan menjalin persahabatan dengan kesultanan-kesultanan di Nusantara terutamanya dengan Demak.

Pada masa Syarif Hidayatullah pula, tercatat Cirebon melakukan pembangunan besar-besaran, seperti pembangunan keraton, masjid agung serta insfrastruktur lainnya. Pada awal-awal menjadi Sultan Cirebon, urusan administrasi pemerintahan sepertinya masih dipegang oleh pamannya, Pangeran Cakrabuana. Sedangkan Syarif Hidayatullah sendiri aktif dalam mendakwahkan Islam dipelosok-pelosok Pasundan. Barulah setelah pamannya wafat kemudian Syarif Hidayatullah mengurusi keduanya. 

Dalam masa Syarif Hidayatullah juga, Cirebon tercatat dapat menaklukan Galuh (Pajajaran Timur) dengan dibantu oleh Demak. Sementara itu Cirebon juga kemudian berhasil menaklukan Pajajaran Barat (Pakuwan) melalui Kesultanan Banten yang juga pendiriannya digagas oleh Syarif Hidayatullah.

Pada masa ini juga Cirebon berhasil mengislamkan negeri-negeri bawahan Pajajaran, seperti Sindangkasih, Singaphura, Surantaka, Indramayu, Talaga, dan masih banyak yang lainnya. 

Cirebon mengalami kemunduran pada masa Panembahan Girilaya, yaitu pemimpin generasi ke tiga. Jadi Sultan Cirebon I adalah Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon II adalah Panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati), selanjutnya Sultan Cirebon III adalah Panembahan Girilaya (Cucu Panembahan Ratu).
Penyebab kemunduran Kesultanan Cirebon pada masa Panembahan Girilaya disebabkan oleh banyak faktor. Dari luar maupun dari dalam keraton sendiri. Pada masa itu ada tiga kekuatan politik yang sedang bangkit. Pertama kekuatan Penjajah Belanda melalui VOC, Kesultanan Banten di sebelah barat Cirebon dan Kesultanan Mataram (Yogyakarta) di timur Cirebon. Ketiga kekuatan itu sama-sama menggenjot ekonomi, politik, dan militer untuk memperluas wilayah kekuasaan. Sedangkan Cirebon waktu itu sedang memfokuskan diri pada dakwah islamiyah pada seluruk pelosok tanah sunda. 

Puncaknya, pada tahun 1660-1661 ketika Panembahan Girilaya berkunjung ke Mataram untuk seba ke Sultan Mataram yang sekaligus juga sebagai mertuanya, dimana dalam kunjungannya itu Sultan Mataram menekan Cirebon agar tegas menolak Banten dan tetap berada dibawah Mataram, namun demikian ternyata Panembahan Girilaya menolaknya hingga kemudian atas peristiwa penolakan tersebut Panembahan Girilaya ditawan Kesultanan Mataram, dan tidak boleh pulang ke Cirebon hingga kewafataanya pada tahun 1662.

Setelah kewafatan Panembahan Girilaya, terjadi kegoncangan di Cirebon. Selama 16 tahun setelah kewafatan Sultan Cirebon III tersebut, Cirebon tidak mempunyai seorang Sultan. Urusan pemerintahan dipegang oleh Pejabat Pengganti Sultan yang pada waktu itu terpecah menjadi dua kubu, kubu Pro Mataram dan Banten.
Menghadapi hal tersebut kubu pro Mataram kemudian melantik Pangeran Merta Wijaya (Sultan Sepuh Raja Syamsudin) menjadi Sultan Cirebon atas restu Mataram dan pernyataan setia kepada Mataram, pelantikan tersebut  kemudian ternyata memperparah perseteruan didalam Istana, karena kubu pro Banten tidak menerimanya. 
Perseteruan antar pangeran ini selesai ketika di teken kesepakatan pembagian Kasultanan Cirebon menjadi dua, dan selanjutnya dilantiklah Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom Mohamad Badarudin) menjadi Raja Cirebon yang dilantik oleh Sultan Banten.
Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Merta Wijaya (Sultan Sepuh Raja Syamsudin) serta wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kasepuhan Cirebon.
Sedangkan Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom Mohamad Badarudin) serta wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kanoman Cirebon.

Kasepuhan sendiri berasal dari kata sepuh yang berarti tua, sementara Kanoman sendiri berasal dari kata nom yang berarti muda, jadilah setelah itu kemudian Cirebon terdapat dua kerajaan, yakni kerajaan tua dan muda, dengan wilayah kekuasaan masing-masing.

Terpecahnya Cirebon menjadi dua kerajaan tersebut terjadi pada Tahun 1678 Masehi. Penamaan sepuh dan nom dalam menamai kedua kesultatan tersebut karena Pangeran Merta Wijaya merupakan Pangeran yang lebih Tua dari Pangeran Kertawijaya sementara Pangeran Kertawijaya lebih muda dari Pangeran Merta Wijaya, karena kedua Sultan tersebut pada dasarnya merupakan kakak dan adik.

Selanjutnya pada tahun 1807-1810 ketika pengaruh Belanda sudah menguasai hampir seluruh Jawa dimana Banten sudah dikalahkan Belanda dan Mataram sudah dalam tahap kemudurannya, Belanda pun secara pengaruh sudah menguasai Cirebon. Hampir seluruh kebijakan Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman cenderung disetir Belanda. 
Pada masa itu ketidakadilan di Cirebon akibat kesewenang-wenangan kebijakan Kesultanan yang dipelopori Belanda membawa penderitaan rakyat Cirebon, sehingga rakyat Cirebon waktu itu sudah muak terhadap para rajanya.

Pada tahun 1806 meletuslah pemberontakan besar di Cirebon yang dipelopori oleh para ulama dan santri. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit

Alasan pemberontakan didasarkan karena para penguasa  Cirebon-Indramayu dianggap antek-antek Belanda yang mengangkangi rakyat dan lebih memilih memanjakan para penguasa Cina. Perlawanan ini didukung oleh salah satu Pangeran Kasultanan Kanoman yang bernama Pangeran Buhaeiridin.

Pangeran Buhaeiridin kemudian berhasil ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Melihat pangeran pro rakyatnya di buang Belanda, perlawanan Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit semakin didukung rakyat dan menyebabkan Belanda kemudian kewalahan menghadapi perlawanan tersebut.
Dengan taktiknya, kemudian Belanda membawa kembali Pangeran Buhaeiridin dari pengasingan ke Cirebon dan kemudian melantiknya menjadi Sultan Baru. Maka setelah itu Cirebon terpecah menjadi tiga kerajaan. Pangeran Buhaeiridin kemudian dilantik menjadi Sultan dengan gelar Sultan Carbon Buhaeiridin.

Adapun nama kerajaannya kemudian di beri nama Kasultanan Kacirbonan. Selain pelantikannya sebagai Sultan, Sultan Carbon Buhaeiridin juga kemudian dibangunkan keraton dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri. Pengukuhan dan pelantikan tersebut terjadi pada tahun 1807 masehi.
Dengan demikian mulai tahun 1807 Cirebon terpecah menjadi tiga kerajaan,  yaitu Kasepuhan, Kanoman dan Kacirbonan. Peristiwa pengangkatan pangeran pro rakyat itu kemudian berangsur-angsur memadamkan pemberontakan yang dipimpin Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit. 
Selanjutnya setelah peristiwa terpecahnya Cirebon menjadi tiga kerajaan tersebut, selanjutnya berimbas pada kehancuran Cirebon secara perlahan-lahan, terlebih-lebih setelah itu kemudian para Sultan sudah tidak lagi punya wewenang dalam memerintah. Pemerintahan diambil alih penjajah Belanda sementara para Sultan hanya dijadikan simbol penguasa lokal dan pendapatannya berasal dari gaji yang diberikan Belanda dalam tiap bulannya. 
***

Begitulah sejarah singkat keraton yang saya dapat dari berbagai sumber.
Dari peninggalan ketiga keraton itu, sayang sekali kami waktu itu hanya bisa mengunjungi keraton kasepuhan Cirebon yang terletak di jalan Kasepuhan Kelurahan Lemahwungkuk Kota Cirebon. 

Dari data yang kami peroleh dari petugas keraton yang menerima kami, di antara dua keraton lainnya, Keraton Kasepuhan Cirebon adalah keraton terluas (25 ha). Mengalami perluasan khususnya pada masa pemerintahan Pangeran Mas Mochammad Arifin pada 1506 M. Namun kami tidak boleh masuk pada semua area keraton. Hanya area tertentu saja yang memang dibuka untuk umum. 

Keraton ini menghadap utara. Di depan keraton terdapat alun-alun, sebelah kiri terdapat masjid agung Sang Cipta Rasa peninggalan Sunan Gunung Jati dan sebelah kiri terdapat pasar sebagai pusat ekonomi.

Oya, mengenai Sunan Gunung Jati, di usianya yang semakin tua, ia menyerahkan kekuaasaannya pada Fatahillah (menantunya) dan beliau memilih fokus mengajar muridnya di pesantren di lereng Gunung Jati. Beliau wafat dan dimakamkan di gunung tersebut.

Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi di halaman depan keraton menunjukkan bahwa Cirebon dulu masuk dalam kekuasaan Hindu Pajajaran.
Awalnya, sebelum terjadi perpecahan seperti yang telah diceritakan diatas, keraton kasepuhan bernama keraton Pakungwati. Nama Pakungwati dinisbatkan pada istri Sunan Gunung Jati, yang tak lain adalah putri dari Cakrabuana sekaligus cucu Prabu Siliwangi.

Arsitektur keraton ini bercita rasa tinggi, memadukan gaya Majapahit, Eropa, Cina dan Timur tengah. Banyak sekali benda kuno bersejarah yang masih terawat, seperti piring porselin dari Tiongkok.


Add caption

Taman depan akses menuju keraton

Bangsal Keraton






Sumur Kasepuhan yang dulu biasa dipakai para wali untuk berwudhu. Juga dipakai untuk acara siraman atau midodareni para putri keraton. Pengunjung boleh berwudhu di sini



Catatan ini ditulis di Malang, 7 Juli 2018/23 Syawal 1439 H, enam tahun setelah kunjungan kami ke Keraton Kasepuhan Cirebon. Teriring doa semoga kita selalu dilimpahi sehat walafiat dan berkah umur. Amin
 

Comments