#Selamat Hari Santri #Santri di Jiwa
Beberapa hari yang lalu saya diundang seorang teman
untuk memberikan sedikit cuap-cuap tentang dunia tulis menulis di pesantren
yang diasuhnya. Sebelumnya teman saya ini menginformasikan bahwa budaya
literasi di kalangan santri di pesantrennya masih rendah. Padahal dia telah mengupayakan
beberapa program yang bisa mendorong tumbuhnya budaya liteasi seperti
mengadakan mading dan tugas mereview buku yang sudah dibaca.
Saya tidak bermaksud untuk mengkritisi lembaga
pendidikan manapun baik itu pesantren atau non pesantren. Saya hanya merenungi,
bahwa budaya literasi di negara tercinta memang masih rendah, tak terkecuali di
lembaga pendidikan tertua di Indonesia bernama pesantren. Memang kesimpulan ini
tidak bisa dipukul rata, karena seperti yang kita tahu bahwa banyak pesantren
yang memiliki tradisi literasi sangat baik bahkan berkembang pesat. Sebut saja
Pondok Darusasalam Gontor, Sidogiri, Lirboyo, Langitan, An-Nuqayyah dan
lain-lain. Pesantren-pesantren tersebut memiliki buletin atau majalah yang
terbit secara berkala. Mereka juga mengelola situs resmi yang rutin diupdate.
Dengan pengalaman yang masih seuprit di dunia
literasi ini, lalu saya mencoba membuat sebuah materi dalam format power point tentang tips menulis yang
ringan agar mudah ditangkap oleh anak usia SMP/SMA di Pesantren teman saya itu.
Di akhir cuap-cuap, saya juga mencoba mengumpan
balik dengan meminta mereka membuat puisi bertema alam. Ternyata responnya
bagus, puisinya juga bagus-bagus. Hampir semua santri yang hadir di ruangan itu
mengumpulkan puisi yang mereka tulis dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
Sampai-sampai saya kewalahan memilih yang paling bagus untuk saya kasih hadiah
buku.
Barangkali ada yang bertanya, kok saya menyuruh bikin
puisi, sih? Kok bukan yang lain? Ah, bahkan para ulama itu tidak hanya alim,
tapi mereka juga romantis. Tak percaya? Coba buka karya-karya mereka bahkan
doa-doa pun ditulis dalam bentuk puisi dengan diksi yang indah.
Sebenarnya kalau berbicara mengenai santri/pesantren
dan literasi, harus diakui bahwa literasi
adalah budaya yang sangat kental dalam keseharian santri. Literasi, yang secara
bahasa adalah keberaksaraan atau secara istilah berarti kemampuan membaca dan
menulis, adalah ruhnya pesantren. Bayangkan, santri itu mulai bangun tidur
sampai akan tidur dia selalu dalam kondisi berliterasi. Misalnya, setelah subuh
membaca Al-Quran. Lalu pagi sampai siang atau sore, masuk kelas untuk mengaji
berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama yang dibimbing oleh kyai atau
ustaz. Belum lagi bila ada acara belajar atau diskusi dalam forum yang lebih santai
pada malam hari.
Namun apakah semua itu menjamin para santri menjadi
melek literasi? Jawabannya, seharusnya, iya. Sejatinya santri adalah sama
dengan pelajar. Sama-sama pembelajar. Kalau istilah latinnya disebut Literatus
(orang yang belajar). Malah, bila dibandingkan pelajar (sekolah umum), bagi santri
yang mukim di pesantren, ia lebih memiliki banyak kesempatan untuk mengaji
berbagai literatur klasik karangan para ulama/cerdik cendikia terdahulu bersama
para ustaz atau pengasuh yang juga berada di tempat yang sama.
Membaca dan menulis. Keduanya adalah gerbang menuju
literasi. Banyak santri yang gemar membaca, tapi (mungkin) kurang suka menulis.
Dan (mungkin) lebih banyak lagi yang lebih suka mendengar saja atau menonton. Ali
Bin Abi Thalib telah mengatakan Ikatlah
ilmu dengan menuliskannya. Rupanya, hal ini yang kurang dijiwai oleh
sebagian santri. Seharusnya tradisi gemar membaca dan mendengar akan lebih baik
jika diikuti dengan tradisi menulis yang baik.
Kalau dicermati, para ulama terdahulu baik dari
manca dan dalam negeri menjadikan tulis menulis sebagai budaya. Menulis itu adalah
tradisi para ulama. Contohnya adalah, Ibnu Katsir dengan kitab tafsir yang
berjilid-jilid, lalu Imam Ghazali dengan Ihya Ulumuddin dll. Sedangkan dari dalam negeri ada Tafsir
Al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa, Tafsir
Al-Azhar karya Buya Hamka dan yang sangat fenomenal adalah Syeh Nawawi
Al-Bantani, seorang ulama Nusantara yang terkenal sampai mancanegara dengan Tafsir Marah al-Labid Li Kasyf al-Ma’na
al-Quran al-Majid.
Merujuk pada dawuh Sayyidina Ali tersebut, maka tak
bisa dibayangkan bukan, jika para ulama terdahulu tak mau bersusah-payah menulis,
apakah para santri zaman now bisa
belajar ilmu-ilmu tersebut dengan baik?
Tidak hanya karya tulis ilmiah, ulama-ulama juga
menulis karya yang lebih nyastra.
Contohnya puisi, syair atau novel. Sebut saja Imam Syafi’i. Selain menulis
kitab fikih sang imam juga banyak menulis syair dengan diksi yang indah. Lalu
ada Ibnu Qoyyim yang salah satu syair terkenalnya adalah Taman-taman Cinta, ada juga puisi karya ulama/sufi perempuan,
Robiatul Adawiyah. Sedangkan ulama Indonesia, Buya Hamka menulis puluhan roman
bernapas Islam yang asli bikin baper. Salah satu yang terkenal dan saya punya
bukunya adalah Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Lalu Kyai dan santri zaman now yang
produktif menulis karya sastra beberapa adalah Gus Mus, Usman Arrumy dan Habiburrahman.
Orang bilang bahwa menulis itu sulit dan memerlukan
bakat. Mungkin benar jika bakat diperlukan. Tapi modal utama menulis sebenarnya
mudah saja, yaitu kemauan. Ya, kemauan untuk menulis dan menuangkan pikiran
dalam bentuk tulisan yang disertai pula dengan wawasan yang didapat dari
membaca. Membaca buku juga kehidupan.
Jadi bagi para santri atau para pembelajar sepanjang
hayat, tunggu apalagi? Mari warnai sejarah dengan penamu.
Malang,22 Oktober 2018
Bunda Farhanah
Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi, Santri Sepanjang
Hayat
Wah ulasannya cantik sekali bunda.. memang betul ilmu sebaiknya diikat dalam bentuk tulisan. Syukur2 bisa memberi manfaat buat sesama.. 👍👍
ReplyDeleteSantri dan sastra harusnya terkait ya... Bayangkan jika banyak tulisan yang bisa lahir dari para santri. Pasti mantul, mantap betuull!
ReplyDeleteTanpa kita sadari, sudah banyak penulis yang lulusan pesantren. Kang Abik dan A Fuadi 😍 semoga habis ini lahir juga santri yang menjadi penulis keren kayak gitu...
ReplyDelete