Tak Setuju Rekonsiliasi, Keimanannya Ke Mana?

Pasca Pilpres 17 April 2019 yang lumayan bikin panas dan baper, kata rekonsiliasi hadir bagai oase. Rekonsiliasi, yang berarti  sebagai pemulihan hubungan persahabatan yang merenggang, atau sederhananya (dalam istilah agama) menyambung silaturahmi ini,  merupakan sarana vital dalam menjaga hubungan sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari lebih-lebih bila menyangkut persatuan bangsa.

Presiden Jokowi sudah mewacanakan rekonsiliasi sejak jauh-jauh hari. Menurutnya, upaya rekonsiliasi bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Di arena berkuda misalnya. Tidak harus dalam acara formal. Malah dalam suasana yang lebih santai, rekonsiliasi akan lebih terasa feel-nya.
Alhamdulillah, wacana yang didengung-dengungkan terwujud juga. Pada tanggal 10 Juli 2019 yang lalu, kedua putra terbaik bangsa itu bertemu dan saling mengobrol tanpa terlihat adanya dendam yang masih tertinggal.

Segala persaingan panas yang terjadi selama pertarungan Pilpres adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Anggap itu adalah pergerakan politik yang dinamis. Bila pertarungan telah usai, maka usai pula segala perseteruan. Sudah saatnya kita bersatu untuk membangun bangsa yang lebih baik lagi. Begitulah yang diucapkan Pak Prabowo ketika bertemu Pak Jokowi. Tak lupa, dengan penuh kebesaran jiwa Pak Prabowo mengucapkan selamat atas terpilihnya kembali Pak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Senada dengan pak Prabowo, pak Jokowi mengatakan bahwa kini tak ada 01 atau 02 atau cebong kampret. Sekarang yang ada hanyalah Persatuan Indonesia. Indonesia yang rukun, damai, berkeadilan, sejahtera dan jaya.

Namun rupanya, ada saja pihak (baca: pendukung Prabowo-Sandi) yang tak suka dengan rekonsiliasi yang diupayakan para tokoh bangsa ini. Entah dengan alasan apa, mereka tak suka jika bangsa ini damai dalam persatuan juga tak suka dengan menyambung silaturahmi yang bahkan dalam agama apa pun selalu dianjurkan. Pak Prabowo sudah legowo dan menerima putusan MK sebagai upaya hukum, pendukungnya masih saja belum.

Mereka masih saja bernarasi bahwa Presiden terpilih adalah hasil kecurangan, MK-nya tidak adil, KPU atau Bawaslu tidak netral dll. Padahal jika mengikuti seluruh rangkaian sidang yang disiarkan secara langsung, telah terlihat terang benderang bahwa  tuduhan kecurangan yang katanya terstruktur dan masif sama sekali tidak terbukti. Pun dengan Majelis Hakim yang memimpin, adalah hakim-hakim pilihan yang sudah teruji.

Celakalah orang-orang yang curang. Begitu yang mereka ucapkan, mengutip sebagian dari ayat kitab suci. Mungkin mereka lupa bahwa tidak boleh menuduh tanpa bukti yang kuat. Jangankan menuduh, berprasangka buruk saja kita dilarang.

Kalau kita berkaca pada sistem peradilan yang digunakan oleh Rasulullah dan sahabat, maka barang siapa yang menggugat maka harus bisa membuktikan gugatan atau tuduhan itu. Jika tidak, maka justru si penggugatlah yang akan mendapat hukuman.

Banyak contohnya. Salah satunya dalam kasus perzinahan. Si A menuduh si B berzina, maka di depan hakim si A harus bisa menghadirkan bukti dan saksi mata setidaknya empat orang laki-laki dewasa. Jika tidak, justru si A yang akan dirajam.

Contoh lain, adalah kisah yang sangat populer. Dikisahkan bahwa Sayyidina Ali kehilangan baju perang dan ia mendapati baju besinya berada pada seorang nasrani.

"Itu adalah baju besiku. Ia telah jatuh dari kudaku pada hari "ini" di "sini"," ucap Saýyidina Ali. Tapi si nasrani bersikukuh bahwa baju besi itu miliknya. Akhirnya keduanya sepakat membawa masalah ini pada hakim Suraih.

Hakim Suraih meminta Sayyidina Ali sebagai pihak yang mengklaim bahwa baju besi itu miliknya, untuk menghadirkan bukti dan saksi. Sayyidina Ali mengajukan anak dan budaknya sebagai saksinya. Tapi hakim Suraih menolak karena persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan.

Karena Sayyidina Ali tak dapat menghadirkan saksi selainnya dan bukti yang kuat, maka hakim Suraih memenangkan si nasrani.

"Saya tak meragukan apa yang anda katakan wahai Amirul Mukminin.  Tapi secara hukum anda tak memiliki bukti yang kuat yang membenarkan anda," ucap Hakim Suraih.

Inilah hukum Allah dan Rasulnya. Supaya kita tidak sembarangan menuduh orang lain, kecuali dengan bukti dan saksi yang jelas dan kuat.

Kembali pada rekonsiliasi. Parahnya lagi. kini pihak yang menolak rekonsiliasi  mengeluarkan statemen bahwa Prabowo telah menghianati aspirasi rakyat yang mendukungnya. Tentu ini sebuah ironi.

Rakyat tentunya ingin perdamaian. Tentu ingin hidup dalam suasana kondusif. Justru sikap Pak Prabowo dan Pak Jokowi adalah sudah tepat, tak ada yang dikhianati. Karena mengupayakan perdamaian dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara adalah perwujudan cinta tanah air.  Dan cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Persis seperti yang digubah dalan syair salah satu pahlawan nasional dalam membakar semangat para (santri) pejuang, mbah KH. Wahab Hasbullah salah satu pendiri NU yaitu: Hubbul wathon minal iman. (Bila ingin tahu lebih lengkap tentang syair hubbul wathon, sila cek lagu Ya lal Wathon di Google).

Maka siapa yang tak suka rekonsiliasi, siapa yang tak suka menyambung silaturahmi, siapa tak suka persatuan, perlu dipertanyakan keimanannya. Kalau memang ada yang masih mengganjal secara hukum, salurkan melalui hukum dan biarkan pengadilan yang memutuskan. Tugas kita tetap harus menjaga persatuan.





Surabaya-Malang, 19 Juli 2019
Bunda Farhanah

Comments