Cinta Hingga Koordinat Terdekatnya Pak Habibie

Cinta Hingga Koordinat terdekatnya Pak Habibie


Saya memiliki setidaknya tiga buku memoar pak Habibi. Satu buah ditulis oleh beliau sendiri dan dua lainnya ditulis oleh A. Makmur Makka. Suami yang membelinya, tapi biasanya saya yang (kemudian) melahapnya. Suami memang hobi beli buku walau bacanya nanti-nanti 🤭.

Ada dua hal penting yang saya stabilo yang selalu saya baca ulang ketika membuka memoar tersebut.  Ohya memoar adalah salah satu jenis buku biografi, biasanya ditulis langsung oleh yang bersangkutan, atau bisa juga oleh orang lain.

Apa tiga hal itu?

1. Profesor Cinta
Di Buku berjudul Habibie 2, Kecil Tapi Otak Semua (2011) Prof Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa  Habibie adalah Profesor cinta. Bagaimana tidak? Habibie tidak melakukan semua aktifitas keilmuan dan penelitiannya kecuali didasarkan cinta.

"Kita harus mencintai pekerjaan yang kita lakukan." Begitu selalu yang diucapkan Habibie ketika ditanya apa rahasia suksesnya dalam bidang teknologi khususnya pesawat terbang. Mau tidak mau, harus mencintai apa yang kita lakukan.

Sebab kecerdasan tanpa cinta akan kering. Tuhan menciptakan alam semesta berdasar cinta. Berarti kita sebagai salah satu makhluk yang diciptakanNya pasti memiliki cinta bawaan. Ini adalah modal awal dalam berkarya. Cinta bawaan akan semakin subur atau bahkan mati, tergantung bagaimana menyiraminya.

Dari kecintaan Habibie pada ilmu, maka lahirlah Postulat-postulat, teori-teori dalam bidang Aerodinamika, yang dinamakan Metoda Habibie.

Salah satu yang saya bisa sedikit pahami adalah riset Habibie (1960, di Hamburg) mengenai penggunaan serat karbon yang lebih murah, ringan daripada serat boron, serta bisa digabung dengan senyawa organik dalam rekayasa pembuatan pesawat tempur.

2. Pesawat Anak Negeri Mengarungi Langit Indonesia

Ketika kembali ke Tanah Air pada 1974 setelah bertahun-tahun di Jerman, berkecimpung dengan teknologi pesawat, Habibie membuat keputusan besar. Yaitu mulai mempertimbangkan membuat pesawat untuk pengembangan industrialisasi Indonesia yang berpulau-pulau. Diharapkan, dengan memiliki pesawat sendiri maka transportasi untuk pemerataan industri dan pembangunan dapat mengalami percepatan.

Tapi masalah menghadang. Meski Habibie adalah ilmuan yang sudah punya nama di Dunia, tidak ada satupun industri pesawat dunia yang bersedia bekerjasama.

Siapa Indonesia di tahun 1974? Negara yang beras saja masih impor,  yang pacul untuk bertani saja masih impor kok mau bikin pesawat?

Jangankan dari manca, reaksi dalam negeri tak kalah ngeri. Bahkan sosok Habibie yang sudah diangkat oleh Pak Harto pun belum banyak yang kenal.

Tapi pada perjalanannya sedikit demi sedikit, ide (membuat pesawat) dapat diterima. Pihak manca mulai berdatangan untuk bekerja sama. Mereka mengandalkan nama besar Habibie sebagai jaminan.

Berdirilah IPTN pada 1976. Lalu lahirlah beberapa pesawat. Mulai CN-230 sampai N-250. Dengan teknologi canggih sesuai standar penerbangan Internasional.

Lahirnya pesawat buatan putra bangsa ini bukannya tanpa hambatan. Dalam negeri sendiri, kesinisan itu ada. Seperti pemlesetan N-250 menjadi Tetuko ( Sing Tuku ga teko-teko). Padahal sampai 1997, IPTN telah memproduksi 400 pesawat yang diserap pasar Luar dan dalam negeri. Tapi ini masih dianggap belum menutup biaya produksi. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa negara rugi besar.

Di tengah terseok-seoknya IPTN sebagai perusahaan negara, Habibie terus pasang badan, bahwa IPTN jangan dibubarkan, biarlah pesawat IPTN terus produksi utamanya untuk kebutuhan transportasi dalam negeri. Sehingga kita tak perlu membeli Boeing, Airbus atau armada dirgantara lainnya dari negara lain.

Apa mau dikata, otoritas keuangan akhirnya membekukan IPTN atau PT. DI tersebut. Meski pada akhirnya, kembali mengoperasikan PT. DI yang sekarang hanya melakukan produksi untuk menyuplai kebutuhan onderdil pesawat untuk industri pesawat luar negeri.

Mungkin benar jika ada yang bilang Habibie  terlahir pada masa yang kurang tepat. Coba sekarang, ketika penerbangan antar pulau dalam negeri sudah menjadi kebutuhan. Betapa bangganya jika pesawat-pesawat yang mengarungi langit Nusantara adalah buatan putra bangsa.

3. Koordinat Terdekat

Ini adalah berkaitan dengan pusara Ibu Ainun.

Ketika Ibu Ainun meninggal dunia, hampir setiap hari selama seratus hari, Pak Habibi berkunjung ke  makam istrinya itu.

Gaya berdoa beliau sangat khas. Yaitu duduk bersimpuh sambil menyiram, menabur bunga dan sesekali mengusap atau memegang pusara Ibu Ainun.

Ketika ada yang bertanya, "Itu budaya mana,  kok berdoa sambil siram-siram dan tabur-tabur bunga? Bukankah hanya jasad saja dalam makam itu?"

Jawaban Pak Habibie sebagai ilmuan cukup logis. "Bagi saya, untuk berdoa kepada Ainun, di sini menurut perasaan saya adalah koordinat paling dekat."

Cukup ilmiah, itulah jawaban seorang ilmuan yang ahli ibadah. Sangat disayangkan jika ada yang menolak untuk ziarah kubur  dan berdoa di kuburan.  Bisa saja kalau kuburan, khususnya kuburan orang soleh, adalah koordinat yang dekat sekali dengan Pengijabah Doa-doa.



Semoga Bapak Habibie husnul Khotimah.


Malang, 12 September 2019. Catatan Dhuha.

Bunda Farhanah

Comments