Pada hari Selasa, 7 januari 2020, bertempat di Hall Ijen Suite Hotel, saya dan ratusan orang tua di Kota Malang (bahkan ada yang dari luar kota dan pulau) berkumpul untuk Ngangsu Kaweruh tentang cara pengasuhan (Parenting) di era digital bersama Psikolog pakar parenting kenamaan dari Ibukota, Bunda Elly Risman, Psi.
Registrasi peserta dimulai sejak pukul 07.00. Karena masih mengurus dan menyiapkan krucil berangkat sekolah, saya baru tiba di tempat pada pukul 07.30... dan ternyata aula sudah terisi separuh. Salut deh, sama semangat bapak ibu untuk menimba ilmu. Juga kagum sama kekompakan dan dedikasi panitia. Sejak pagi, mereka menyambut kami dengan cantik dan senyum ceria. Padahal, denger-denger nih, panitia udah nggak tidur dua hari buat menyiapkan acara keren ini, lho.
Workshop Parenting 4.0 ini diadakan dalam rangka Milad FUMM (Forum Ukhuwah Muslimah Malang) dan Ikatan Alumni Sekolah Ibu.
Acara dimulai pada pukul 08.30 dengan diawali membaca Ummul Quran dipandu oleh MC (Master Of Ceremony) asal Surabaya yaitu Ibu Alfi, seorang motivator handal dan Manager di Yayasan Pendidikan Al-Uswah Surabaya. Dengan suara yang khas dan penuh wibawa namun tetap humble, Ibu Alfi memandu jalannya acara dari awal sampai akhir, dengan apik.
Kemudian senandung ayat suci dan sari tilawah yang dibawakan oleh Ustadz Dimas. Beliau membacakan surat Ali Imron ayat 35-37 dengan suara yang jernih.
Acara selanjutnya adalah sambutan-sambutan. Yang pertama dari ketua panitia acara Workshop ini yaitu Ibu Tiara Marlia, disusul dari IASI yang diwakili oleh Ibu Pipit dan terakhir sekaligus doa adalah oleh Ustadzah Maya Novita, Lc, MA selaku ketua FUMM.
Tepat pukul 09.30, acara inti bersama Bunda Elly Risman dimulai. Beliau ditemani seorang asisten bernama ibu Hanifah yang ternyata asli Arema.
Saya yang baru pertama ini mengikuti seminar parenting bersama Bunda Elly sangat excited dengan sosok beliau. Di usia yang mendekati kepala 7, tahun ini beliau genap 69 tahun, masih terlihat energik dan bersemangat dalam menyebar ilmu dan kebaikan. Semoga Allah selalu melindungi Bunda Elly dan keluarga, serta semua orang yang mengikuti seminar-seminar beliau. Aamien.
Tujuh Pilar Pengasuhan
Dalam usaha mengasuh amanah Allah yang dititipkan pada kita, terutama pada era digital 4.0 tentu membutuhkan ilmu khusus. Bunda Elly membagi tips dan ilmu dalam mengasuh putra-putri menjadi tujuh bagian yang disebut dengan Tujuh Pilar Pengasuhan.
Saya pribadi menggarisbawahi, bahwa dari tujuh pilar itu ada tiga pilar yang paling mendasar. Apa itu?
1. Innerchild
Apa itu innerchild?
Secara sederhana, Inner child merupakan bagian dalam diri seseorang yang
merupakan hasil dari pengalaman masa kecilnya. Inner child merupakan
salah satu bagian dari alam bawah sadar manusia. Termasuk pengalamannya bersama orang tua, bagaimana mereka mengasuh dan mendidik di saat seorang masih kecil.
Secara tak sadar, sangat mungkin pola pengasuhan orang tua, baik itu bagus atau buruknya, membekas di alam bawah sadar. Lalu pola pengasuhan ini akan terulang/muncul ketika kita menjadi orang tua dan mendidik putra-putri. Iya kalau yang muncul adalah inner child dalam sisi positif. Bila sebaliknya? Bagaimana?
Apa saja Innerchild negatif yang mungkin muncul dalam proses mengasuh buah hati?
a. Bicara tergesa-gesa pada anak-anak, seakan-akan mereka adalah orang dewasa yang kita tuntut untuk cepat mengerti apa yang kita mau/maksud.
b. Tidak mengenal anak sebagai pribadi unik yang memiliki kebutuhan dan kemampuan berbeda.
c. Tidak bisa membaca bahasa tubuh anak.
Misal kita mendengar anak menjerit karena terjatuh, lalu dorongan innerchild membuat kita berkata, "Naah, jatuh khan? Apa mama bilang? Jangan lari-lari nanti jatuh!". Betul tidak?
Seharusnya, bila kita mau sejenak memahami anak ketika ia terjatuh, kita akan tahu bahwa ternyata anak butuh sekali pelukan, belaian dan kata-kata yang lembut untuk mengurangi "deritanya" karena kesakitan.
Bukan malah berkata seperti: Naah, jatuh khan? Apa mama bilang? Jangan lari-lari nanti jatuh!
d. Tidak mendengar perasaan.
e. Kurang mendengar aktif.
Seringkali kita ingin anaklah yang mendengar nasihat dan petuah kita. Kita lupa bahwa anak pun, walau usianya masih balita, adalah juga manusia yang perlu mengemukakan pendapat.
f. Bicara kepada anak dengan menggunakan 12 gaya populer, yaitu:
Memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap/melabeli, mengancam, menasihati, membohongi, menghibur, mengentik, menyindir, menganalisa.
Sudah saatnya, kita lebih mengedepankan komunikasi dua arah dengan anak. Contohnya, menasihati itu penting, tapi bagaimana caranya agar tidak hanya sekedar menasihati, tapi perlu juga mendengar dan menyelami keluh kesahnya.
Lalu bagaimana menghilangkan atau meminimalisir munculnya Innerchild (negatif) yang terlanjur bersemayam dalam alam bawah sadar kita? Tak ada lain adalah dengan memaafkan kedua orang tua, mendoakan mereka, memuliakan mereka di masa tua (jika masih ada) serta selalu menanamkan kesyukuran bahwa kita sangat beruntung memiliki orang tua dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. Apa yang baik dari orang tua kita ambil, apa yang tidak baik kita buang.
c. Tidak bisa membaca bahasa tubuh anak.
Misal kita mendengar anak menjerit karena terjatuh, lalu dorongan innerchild membuat kita berkata, "Naah, jatuh khan? Apa mama bilang? Jangan lari-lari nanti jatuh!". Betul tidak?
Seharusnya, bila kita mau sejenak memahami anak ketika ia terjatuh, kita akan tahu bahwa ternyata anak butuh sekali pelukan, belaian dan kata-kata yang lembut untuk mengurangi "deritanya" karena kesakitan.
Bukan malah berkata seperti: Naah, jatuh khan? Apa mama bilang? Jangan lari-lari nanti jatuh!
d. Tidak mendengar perasaan.
e. Kurang mendengar aktif.
Seringkali kita ingin anaklah yang mendengar nasihat dan petuah kita. Kita lupa bahwa anak pun, walau usianya masih balita, adalah juga manusia yang perlu mengemukakan pendapat.
f. Bicara kepada anak dengan menggunakan 12 gaya populer, yaitu:
Memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap/melabeli, mengancam, menasihati, membohongi, menghibur, mengentik, menyindir, menganalisa.
Sudah saatnya, kita lebih mengedepankan komunikasi dua arah dengan anak. Contohnya, menasihati itu penting, tapi bagaimana caranya agar tidak hanya sekedar menasihati, tapi perlu juga mendengar dan menyelami keluh kesahnya.
Lalu bagaimana menghilangkan atau meminimalisir munculnya Innerchild (negatif) yang terlanjur bersemayam dalam alam bawah sadar kita? Tak ada lain adalah dengan memaafkan kedua orang tua, mendoakan mereka, memuliakan mereka di masa tua (jika masih ada) serta selalu menanamkan kesyukuran bahwa kita sangat beruntung memiliki orang tua dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. Apa yang baik dari orang tua kita ambil, apa yang tidak baik kita buang.
2. Keterlibatan Ayah.
Di tengah kesibukan dengan tugas mulia sebagai penopang finansial keluarga, bersama-sama dengan ibu, peran Ayah sangat vital dalam mengasuh dan menumbuhkan karakter baik pada anak-anak.
Kedekatan anak-anak pada Ayah, sangat efektif untuk mengisi jiwa anak dengan penuh. Dalam arti penuh dengan kebaikan, kebajikan, dan kasih sayang serta minim dari innerchild (negatif). Anak-anak yang jiwanya penuh, biasanya akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri, mudah berempati, lembut hati sekaligus tegas dan berbagai sifat baik lainnya.
Bunda Elly Risman memberikan tips kepada para Ayah agar tetap bisa menjadi Ayah keren walau di tengah sibuknya bekerja, yaitu jadilah "Ayah sepuluh menitan". Apa itu artinya?
Yaitu: sempatkanlah mengobrol dan bercanda dengan anak-anak dengan bahan obrolan remeh-temeh yang membuat suasana ceria penuh canda tawa. Minimal, minimal lho ini, sepuluh menit di pagi hari (sebelum berangkat kerja) dan sepuluh menit di sore atau malam hari sepulang bekerja.
3. Menyiapkan/menyongsong masa akil balig di era digital.
Bisa jadi dari segi gizi, kita sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak untuk mendukung tumbuh kembang buah hati.
Tapi tentunya, kebutuhan anak tidak hanya gizi. Kasih sayang, pendidikan agama dan karakter yang baik sangat menentukan. Gizi yang baik akan membuat fisik anak tumbuh optimal, bahkan tak jarang pada usia sekian, anak sudah mengalami mens atau akil baligh.
Dan siapkah kita mendampingi mereka memasuki usia akil baligh di era digital ini ketika kemudahan mengakses informasi semakin menipis sekatnya? Berita penyimpangan sex dan sosial tentu sangat miris, juga banyaknya produsen pornografi yang konon menyasar anak-anak, yang baru atau menjelang akil baligh, sebagai pangsa pasar yang menyuplai pundi-pundi dolar. Karena usia-usia ini rasa ingin tahu yang sangat besar.
Tentu melangitkan doa adalah pangkal, pendamping dan pelengkap semua ikhtiyar kita sebagai orang tua, semoga anak-anak selalu dilindungi dari marabahaya dan selalu memperoleh keberuntungan dunia akhirat.
Bunda Elly juga membahas dan menganalisis data berdasar kuisener. Ohya, di awal acara, panitia memberikan kuisener yang boleh diisi oleh semua peserta. Kuisener itu tentang per-gadget-an. Pertanyaannya antara lain: pada usia berapa kita mengenalkan dan memberikan gadget pada anak-anak? Apa tujuan kita memberikan gadget pada anak-anak? Berapa jam sehari anak-anak sibuk dengan gadgetnya?
Dari 36 peserta yang mengisi kuisener, hampir semua orang tua telah mengenalkan anak-anak pada gadget sejak usia TK dengan alasan beragam. Mulai dari alat komunikasi, melihat galeri foto kegiatan kemarin hingga bermain game atau menonton Youtube (konten anak-anak).
Ini yang harus diwaspadai, sebagaimana kita tahu dari berita-berita dari media nasional terpercaya yang mengatakan banyak anak-anak yang masuk RSJ karena kecanduan gadget. Harus ada manajemen waktu dan kesepakatan antara orang tua dan anak kapan dan bagaimana boleh bermain gadget.
Pengalaman saya pribadi, terhadap anak-anak saya yang masih usia TK dan SD, kami membuat kesepekatan bahwa mereka boleh bermain gadget pada hari Sabtu dan Minggu saja pada jam-jam tertentu. Alhamdulillah ini sangat membantu saya dan anak-anak untuk tidak selalu bermain gadget, karena pada hari Senin-Jumat, saya pun juga berusaha menahan diri dari gadget di depan anak-anak.
Dengan jarang memegang gadget, anak-anak menjadi lebih suka membaca atau bermain fisik (bola, kelereng, petak umpet, kejar-kejaran dsb).
Terhadap anak yang sudah kuliah, saya sudah menyerahkan tanggung jawab yang lebih besar padanya. Hanya sambil terus diingatkan agar selalu bijak menggunakan gadged.
***
Acara Workshop ini berakhir pada jam 14.00 setelah sesi tanya jawab. Ada beberapa peserta yang bertanya dan salahsatunya adalah peserta dari Sumatera. Hebat, salut dengan semangatnya.
Panitia juga memberi doorprize pada 25 orang (25 apa 35 ya... saya lupa, hehe) peserta ter-. Ada yang tercepat mendaftar (pertama daftar), terjauh, terpagi datangnya dan ter-ter lainnya.
Ohya, investasi mengikuti workshop ini adalah:
1. Rp. 380 K untuk peserta reguler per orang dan mendapat diskon menjadi Rp. 350 K jika mendaftar berkelompok minimal lima orang.
2. Rp. 720 K untuk peserta General Couple. (suami istri, atau ibu-anak 18+/Ayah-anak 18+)
3. Rp. 500 K untuk peserta VIP.
Fasilitas yang didapat adalah sertifikat, snackbox plus air mineral, paket makan siang, goodie bag berisi makalah, bloknote dan alat tulis. Antara VIP dan reguler adalah beda di tempat duduk saja. VIP di barisan depan, sedangkan reguler di belakangnya. Saya mendaftar berkelompok untuk peserta reguler dengan beberapa teman. Meski duduk di barisan tengah (tidak di belakang sekali), saya tetap bisa mendengar dan melihat slide dengan jelas. Panitia telah menyiapkan dua layar cukup lebar sehingga bisa terlihat sampai ke belakang.
Mahal? Relatif ya, tapi bila diniatkan menuntut ilmu Lilahitaala, inshaallah akan diganti yang lebih banyak dan berkah dari sisi Allah, Amien. Ilmunya daging semua, kita juga menambah teman dan pengalaman.
Satu lagi, di luar ruang seminar, panitia juga mengadakan bazar. Ada lapak baju muslimah, buku-buku, makanan, jilbab dan lain-lain. Lumayan lengkap.
Demikianlah yang bisa saya tulis terkait acara Workshop Parenting 4.0 7 Pilar Pengasuhan bersama Bunda Elly Risman, Psi.
Wallahua'lam.
Bunda Elly Risman memberikan tips kepada para Ayah agar tetap bisa menjadi Ayah keren walau di tengah sibuknya bekerja, yaitu jadilah "Ayah sepuluh menitan". Apa itu artinya?
Yaitu: sempatkanlah mengobrol dan bercanda dengan anak-anak dengan bahan obrolan remeh-temeh yang membuat suasana ceria penuh canda tawa. Minimal, minimal lho ini, sepuluh menit di pagi hari (sebelum berangkat kerja) dan sepuluh menit di sore atau malam hari sepulang bekerja.
3. Menyiapkan/menyongsong masa akil balig di era digital.
Bisa jadi dari segi gizi, kita sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak untuk mendukung tumbuh kembang buah hati.
Tapi tentunya, kebutuhan anak tidak hanya gizi. Kasih sayang, pendidikan agama dan karakter yang baik sangat menentukan. Gizi yang baik akan membuat fisik anak tumbuh optimal, bahkan tak jarang pada usia sekian, anak sudah mengalami mens atau akil baligh.
Dan siapkah kita mendampingi mereka memasuki usia akil baligh di era digital ini ketika kemudahan mengakses informasi semakin menipis sekatnya? Berita penyimpangan sex dan sosial tentu sangat miris, juga banyaknya produsen pornografi yang konon menyasar anak-anak, yang baru atau menjelang akil baligh, sebagai pangsa pasar yang menyuplai pundi-pundi dolar. Karena usia-usia ini rasa ingin tahu yang sangat besar.
Tentu melangitkan doa adalah pangkal, pendamping dan pelengkap semua ikhtiyar kita sebagai orang tua, semoga anak-anak selalu dilindungi dari marabahaya dan selalu memperoleh keberuntungan dunia akhirat.
Bunda Elly juga membahas dan menganalisis data berdasar kuisener. Ohya, di awal acara, panitia memberikan kuisener yang boleh diisi oleh semua peserta. Kuisener itu tentang per-gadget-an. Pertanyaannya antara lain: pada usia berapa kita mengenalkan dan memberikan gadget pada anak-anak? Apa tujuan kita memberikan gadget pada anak-anak? Berapa jam sehari anak-anak sibuk dengan gadgetnya?
Dari 36 peserta yang mengisi kuisener, hampir semua orang tua telah mengenalkan anak-anak pada gadget sejak usia TK dengan alasan beragam. Mulai dari alat komunikasi, melihat galeri foto kegiatan kemarin hingga bermain game atau menonton Youtube (konten anak-anak).
Ini yang harus diwaspadai, sebagaimana kita tahu dari berita-berita dari media nasional terpercaya yang mengatakan banyak anak-anak yang masuk RSJ karena kecanduan gadget. Harus ada manajemen waktu dan kesepakatan antara orang tua dan anak kapan dan bagaimana boleh bermain gadget.
Pengalaman saya pribadi, terhadap anak-anak saya yang masih usia TK dan SD, kami membuat kesepekatan bahwa mereka boleh bermain gadget pada hari Sabtu dan Minggu saja pada jam-jam tertentu. Alhamdulillah ini sangat membantu saya dan anak-anak untuk tidak selalu bermain gadget, karena pada hari Senin-Jumat, saya pun juga berusaha menahan diri dari gadget di depan anak-anak.
Dengan jarang memegang gadget, anak-anak menjadi lebih suka membaca atau bermain fisik (bola, kelereng, petak umpet, kejar-kejaran dsb).
Terhadap anak yang sudah kuliah, saya sudah menyerahkan tanggung jawab yang lebih besar padanya. Hanya sambil terus diingatkan agar selalu bijak menggunakan gadged.
***
Acara Workshop ini berakhir pada jam 14.00 setelah sesi tanya jawab. Ada beberapa peserta yang bertanya dan salahsatunya adalah peserta dari Sumatera. Hebat, salut dengan semangatnya.
Panitia juga memberi doorprize pada 25 orang (25 apa 35 ya... saya lupa, hehe) peserta ter-. Ada yang tercepat mendaftar (pertama daftar), terjauh, terpagi datangnya dan ter-ter lainnya.
Ohya, investasi mengikuti workshop ini adalah:
1. Rp. 380 K untuk peserta reguler per orang dan mendapat diskon menjadi Rp. 350 K jika mendaftar berkelompok minimal lima orang.
2. Rp. 720 K untuk peserta General Couple. (suami istri, atau ibu-anak 18+/Ayah-anak 18+)
3. Rp. 500 K untuk peserta VIP.
Fasilitas yang didapat adalah sertifikat, snackbox plus air mineral, paket makan siang, goodie bag berisi makalah, bloknote dan alat tulis. Antara VIP dan reguler adalah beda di tempat duduk saja. VIP di barisan depan, sedangkan reguler di belakangnya. Saya mendaftar berkelompok untuk peserta reguler dengan beberapa teman. Meski duduk di barisan tengah (tidak di belakang sekali), saya tetap bisa mendengar dan melihat slide dengan jelas. Panitia telah menyiapkan dua layar cukup lebar sehingga bisa terlihat sampai ke belakang.
Mahal? Relatif ya, tapi bila diniatkan menuntut ilmu Lilahitaala, inshaallah akan diganti yang lebih banyak dan berkah dari sisi Allah, Amien. Ilmunya daging semua, kita juga menambah teman dan pengalaman.
Satu lagi, di luar ruang seminar, panitia juga mengadakan bazar. Ada lapak baju muslimah, buku-buku, makanan, jilbab dan lain-lain. Lumayan lengkap.
Demikianlah yang bisa saya tulis terkait acara Workshop Parenting 4.0 7 Pilar Pengasuhan bersama Bunda Elly Risman, Psi.
Wallahua'lam.
Buku merah ini pemberian suami, setia menemani sekedar untuk corat coret menuangkan rasa dan pikiran. Wkwkwk |
With a Friend. Lope lope lope |
Yang berdiri itu, Bunda Elly, dengan sabar mendengarkan pertanyaan peserta |
Goodie bag-nya...kuning kepodang Luur |
Comments
Post a Comment