Masjid Sabilillah Blimbing, Monumen Perjuangan Ulama dan Santri Malang Yang Tak Takut Mati, Perspektif Historis


Masjid Sabilillah Blimbing, Monumen

 Perjuangan Ulama dan Santri Malang Yang Tak Takut Mati, Perspektif Historis

Oleh Nazlah Hasni

Disampaikan pada Lomba Penulisan Eko-Sosio-Kultural Lokal Kota Malang Dalam Perspektif Historis



Malang, Ulama dan Santri adalah tiga kata yang berkait-berkelindan. Ketiganya memiliki ikatan historis yang kuat. Banyaknya lembaga pendidikan Islam baik berupa pesantren atau non pesantren adalah bukti yang tak terbantah. Sebut saja beberapa di antaranya yaitu Pondok Pesantren Gading, Pondok Pesantren Gasek, Pondok Pesantren Nurul Huda Mergosono, Pondok Pesantren Al-Hikam Cengger Ayam dan Pondok Pesantren Nurul Ulum Kacuk.

Pun bertebarannya masjid-masjid bersejarah, semakin menguatkan bahwa kehidupan yang relijius berikut ulama dan santrinya sudah bersenyawa dengan kota ini. Salah satunya adalah Masjid Raya Sabilillah, yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.

Bagi Kera Ngalam, nama Masjid Raya Sabilillah tentu tak asing lagi. Masjid yang terletak di Jalan Ahmad Yani, adalah salah satu masjid kebanggaan warga kota Malang. Tidak hanya kegiatan ibadah salat wajib berjamaah lima kali sehari, di masjid ini juga semarak dengan berbagai kegiatan. Mulai dari pendidikan, dakwah, perpustakaan, majelis taklim, lembaga amil zakat, infak dan shodaqoh (ZIS), kelompok usaha,  kelompok bimbingan haji, hingga klinik kesehatan yang semuanya bermakna bagi umat.

Bila menelisik arsitektur gedungnya, masjid megah dengan menara menjulang ini ternyata sebuah monumen, atau tepatnya monumen yang berbentuk masjid. Sebagaimana definisi monumen, pastinya ada jejak langkah yang ingin dikenang. Penyematan kata  Sabilillah sebagai nama Masjid pun bukan asal pasang tapi sarat nilai sejarah. Nama tersebut dinisbatkan pada sebuah Laskar pejuang kemerdekaan berani mati yang beranggotakan Ulama dan santri bernama Laskar Sabilillah.

Seperti apakah jejak sejarah itu sehingga membuat keberadaan Masjid Sabilillah menjadi menarik untuk diperbincangkan? Tulisan ini mencoba mengulasnya untuk anda. Tentu bukan sebuah tulisan yang sempurna, maka kritik dan saran selalu dinanti.

Yuk, kita mulai!



Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945, Sebagai Dasar Dibentuknya Laskar Sabilillah

Laskar Sabilillah yang dikenal berani mati itu, berdiri menyusul seruan Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH. Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945. Sejenak mari menelusuri jejak sejarah, apa yang dimaksud dengan Resolusi Jihad tersebut.

1942. Kalah dari Jepang pada perang Asia Timur Raya, membuat Belanda yang telah 350 tahun menjajah, harus meninggalkan Indonesia. Sejak itu, Indonesia berada dalam jajahan Jepang hingga Agusus tahun 1945 ketika negara matahari terbit itu kalah pada Perang Dunia II.

Kekalahan Jepang, menjadikan bangsa Indonesia mengambil kesempatan baik ini untuk memproklamasikan kemerdekaan. Maka pada 17 Agustus 1945, bertempat di Jalan Pagesangan Jakarta, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

September 1945. Satu bulan setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, siaran berita dunia menyatakan Perang Dunia II telah resmi berakhir. Sebuah pengumuman yang cukup melegakan banyak pihak, sungguh perang adalah kegiatan yang melelahkan dan sia-sia. Menang saja rugi, kalah apalagi.

Tapi kelegaan tersebut hanya berlangsung sebentar, terutama bagi Indonesia. Baru satu bulan memproklamasikan kemerdekaan, kedaulatan negara sudah mendapat ujian. Tentara Belanda datang kembali dengan menumpang tentara Sekutu, hendak menjajah Tanah Air lagi. Bung Karno dan Bung Hatta, sebagai pemimpin dari negara yang masih bayi merah ini, galau, upaya diplomatik yang telah diusahakan agar tentara Sekutu berpihak netral, tidak mengutak-atik status kemerdekaan Indonesia,  dan hanya menyelesaikan urusan tahanan Perang Dunia II, tidak membuahkan hasil.

Tentara Sekutu tidak menghiraukan Pemerintah Indonesia berikut apa pun upaya diplomatik yang dilakukan. Atau dengan kata lain pihak Sekutu tidak mengakui kemerdekaan Indonesia  yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Apa pasal? Karena pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang yang semakin terjepit akibat kekalahan telak di Perang Dunia II telah menyerahkan semua wilayah kekuasaannya di Asia Pasifik termasuk Indonesia, kepada Sekutu. Dan pernyataan menyerahnya Jepang secara resmi pada tentara Sekutu sehari berikutnya yaitu pada tanggal 15 Agustus 1945, semakin membuat pihak Sekutu merasa di atas angin.

Di atas kertas tentara Sekutu merasa berhak mengambil alih kekuasaan atas Indonesia. Apalagi waktu itu meski Indonesia telah mengumandangkan proklamasi, Kalimantan dan Indonesia Timur masih berada dalam genggaman Australia sebagai bagian dari Tentara Sekutu. Inilah yang dimanfaatkan Belanda, mereka mendompleng Tentara Sekutu untuk bisa kembali menjajah Indonesia.

Menurut perhitungan Bung Karno, bila terjadi peperangan antara Indonesia dengan Tentara Sekutu, maka negara yang masih bayi merah ini secara matematis akan kalah, karena peralatan dan tenaga yang jauh dari memadai.

Maka atas saran Panglima Besar Jenderal Sudirman, Bung Karno mengirim utusan kepada KH. Hasyim Asyari selaku Roisul Akbar NU (Ketua Umum Nahdlatul Ulama) di Tebu Ireng Jombang. Tujuannya adalah meminta fatwa kepada KH. Hasyim Asyari tentang bagaimana hukum berjihad untuk memperrtahankan kedaulatan negara baru Indonesia yang notabene bukan negara Islam.

KH. Hasyim Asyari yang memang sudah mencium adanya aroma lain atas kemenangan mutlak tentara Sekutu atas Jepang di Perang Dunia II gegas bergerak. Beliau langsung memanggil KH. Wahab Hasbullah Tambak Beras Jombang untuk mengumpulkan para Ketua NU se-Jawa dan Madura untuk membahas masalah ini. KH. Hasyim Asyari juga meminta kepada kyai khos (utama) NU untuk salat istikhoroh. Salah satu kyai khos waktu itu adalah mbah KH. Abbas Buntet Cirebon.

21 - 22 Oktober 1945. Semua delegasi NU se-Jawa Madura telah berkumpul di markas GP Anshor jalan Pungutan Surabaya. Waktu itu, Surabaya telah menjadi kota perdagangan terbesar, dan menjadi pusat pergerakan dan berkumpulnya santri Nahdlatul Ulama. KH. Hasyim Asyari memimpin langsung pertemuan tersebut yang kemudian dilanjutkan KH. Wahab Hasbullah. Setelah berdiskusi selama 2 (dua) hari dan mendengarkan hasil istikhoroh para kiyai khos, diambil titik temu bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sah.

Dengan demikian, mewakili seluruh kyai dan jajaran NU, KH. Hasyim Asyari  menyatakan bahwa status kemerdekaan Indonesia adalah sah secara fikih, karena itu umat Islam wajib berjihad untuk mempertahankannya.

22 Oktober 1945. Maka pada hari itu diputuskan sebuah rumusan yang disebut RESOLUSI JIHAD NU.

Isi  dari  resolusi  jihad  adalah  sebagai berikut seperti yang dimuat oleh harian Kedaulatan Rakjat bertanggal 26 Oktober 1945.

R E S O L O E S I

Rapat besar wakil2 daerah (konsoel2) Perhimpoenan Nahdatoel Oelama’ seloeroeh Djawa-Madoera  pada  tg  21-22  Oktober  1945  di Soerabaja,

Mendengar:

Bahwa ditiap2 daerah diseloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat oemmat Islam dan alim oelama’ ditempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan Agama, Kedaulatan Negara Repoeblik Indonesia Merdeka,

Menimbang:

a.      Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menoeroet hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe ke-wadjiban bagi tiap2 orang Islam.b.Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalahsebagian besar terdiri dari oemmat Islam.

Mengingat:

b.      bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepangjang datang dan jang berada disini telah sangatbanjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang mengganggoe ketenteraman oemoem.

c.       Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itoedengan maksoed melanggar kedaulatan NegaraRepoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kem-bali mendjadjah disini, maka dibeberapa tempattelah terdjadi pertempoeran jang mengorbankanbeberapa banjak djiwa manoesia.

d.      Bahwa pertempoeran2 itoe sebagian besar telahdilakoekan oleh oemmat Islam jang merasa wadjib  menoeroet  hukum  agamanja  oentoek  mem-pertahankan kemerdekaan Negara dan Agamanja.

e.       Bahwa didalam menghadapi sekalian kedjadian2itoe beloem mendapat perintah dan toentoenanjang  njata2  dari  Pemerintah  Repoeblik  Indone-sia jang sesoai dengan kedjadian2 terseboet.

Memoetoeskan:

1. Memohon  dengan  sangat  kepada  Pemerintah Repoeblik Indonesia, soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap tiap2 oesaha jang akan membahajakankemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki-tangannja.

2. Soepaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “Sabiloellah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Berdasarkan teks tersebut, dapat disimpulkan inti dari fatwa Resolusi Jihad NU adalah:

1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.

2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.

3. Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang kembali dengan membonceng tugas-tugas Sekutu dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.

4. Umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat sejata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.

5. Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban bagi tiap orang Islam (fardhlu ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak yang diperkenankan sholat jamak dan qoshor). Adapun mereka yang berada diluar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.

Keesokan harinya, yaitu tanggal 23 Oktober 1945, secara resmi organisasi NU mengedarkan pamflet hasil keputusan untuk menyerukan jihad di media-media massa maupun ke pondok-pondok pesantren.

Berselang tiga hari sejak dikeluarkan fatwa jihad, tentara Sekutu yang didomplengi Belanda merapat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Maka sejak saat itu, seluruh umat Islam khususnya santri, ulama dan Nahdlatul Ulama, mempersiapkan diri untuk berjihad.

7-8 Nopember 1945. Salah satu organisasi Islam yang juga aktif saat itu, yaitu Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi) tanggap dengan keadaan genting yang terjadi. Segera mengadakan Muktamar di Jogjakarta pada 7-8 Nopember 1945 dan memutuskan untuk membentuk sebuah barisan atau laskar yang dinamakan Sabilillah. Laskar ini ditujukan untuk menampung aspirasi umat Islam secara keseluruhan, dalam usaha-usaha pembelaan dan pertahanan bangsa, negara dan agama.

Kedaulatan Rakjat Jogjakarta sebagai koran berpengaruh pada masa itu, menjadikan keputusan pembentukan Laskar Sabilillah sebagai berita utama pada terbitan bertanggal 9 Nopember 1945 dengan judul: “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berdjihad Fi Sabilillah, Perang di djalan Allah oentoek menentang tiap-tiap pendjadjahan, Partai  Masjoemi  sebagai  badan  perdjoeangan  politik oemmat Islam.”

Harian Kedaulatan Rakjat, pada tanggal yang sama, juga memuat keputusan Muktamar Masjoemi itu secara lengkap sehingga bisa dibaca oleh khalayak. Teks keputusan tesebut secara lengkap adalah sebagai berikut:

R E S O L O E S I

Moe’tamar Oemmat Islam Indonesia di Jogjakarta

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIMMoe’tamar Oemmat Islam Indonesia jang diadakan di Jogjakarta tanggal 1—2 Dzolhidjdjah 1364 (7—8 November 1945) jg mewakili seloeroeh  ummat  Islam  di  Indonesia  jang berdjoemlah  koerang lebih 65 miljoen djiwa, setelah menindjau perdjoeangan bangsa Indonesia dalam waktoe achir2 ini dalam menegakkan  kedaulatan  Negara  Repoeblik  Indonesia sebagai soeatoe sjarat moetlak oentoek kesempoernaan  berdjalannja  Agama  Islam,  maka ternjatalah bahwa tindakan2 dari fihak Imperialisme Belanda dan komplotannya membahajakan dari kedaulatan Negara Repoeblik Indonesia.

M e n i m b a n g :

1. Bahwa tiap2 bentoek pendjadjahan adalah soeatoe kezaliman jang melanggar peri kemanusiaandan njata2 diharamkan oleh Agama Islam.

2. Bahwa oentoek membasmi tindakan2 jang dilakoekan oleh tiap2  Imperialisme atas Indonesia, tiap2  moeslim  wadjiblah  berdjoeang  dengandjiwa  raganja  bagi  kemerdekaan  Negara  danAgamanja.

3. Bahwa dalam keadaan jang demikian haroeslah dikerahkan  tenaga  rakjat  dari  segenap  lapisan oemoemnja dalam kalangan Oemmat Islam Indonesia choesoesnja.

M e m o e t o e s k a n :

A.   Oentoek Dalam Negeri.

1.    Memperkoeat persiapan Oemmat Islam oentoekberdjihad fi sabilillah.

2.  Memperkoeat barisan pertahanan negara Indo-nesia dengan berbagai2 oesaha jang diwajibkanoleh Agama Islam.

3.   Menjesoeikan soesoenan dan sifat Masjoemi seba-gai Poesat Persatoean Oemmat Islam Indonesia,sehingga  dapat  mengerahkan  dan  memimpinperdjoeangan  Oemmat  Islam  Indonesia  seloe-roehnja.

4.   Menghormati dan menghargai djasa pahlawan2 teroetama angkatan moeda, baik jang tiwas ma-oepoen jang tidak, dalam perdjoengan menegak-kan kedaulatan negara.

5. Memohonkan kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja mendesak kaoem sekoetoe menjegerakan  perloetjoetan  sendjata  tentara  djepangdan pengembaliannja, agar bala tentara sekoetoedapat segara poelang kenegerinja.

B.    Oentoek Luar Negeri:

Menjampaikan poetoesan ini kepada Doenia International oemoemnja dan doenia Islam choesoesnja.

Resoloesi ini disampaikan kepada:

1.    Pemerintah Repoeblik Indonesia.

2. Rakjat Indonesia Oemoemnja dan Oemmat Islam Indonesia choesoesnja.

Jogjakarta: 1-2 Zoelhidjdjah 1364,7-8 Nopember 1945

Laskar Sabilillah secara struktural berada di bawah komando Masjoemi. Hal ini sangat menguntungkan karena pada masa itu sebagai organisasi, Masjoemi telah memiliki pengurus sampai di tingkat desa, khususnya di Jawa. Dengan demikian Laskar Sabilillah dapat dibentuk dengan segera. Adapun petunjuk teknis tentang pembentukan dan struktur organisasi Laskar Sabilillah pada tingkat pusat dan daerah adalah sebagai berikut: (juga dimuat di Kedaulatan Rakjat bertanggal 9 Nopember 1945).


BARISAN SABILILLAH
Oentoek mendjalankan kepoetoesan Kongres Oemmat Islam Indonesia di Jogjakarta pada tg, 1-2 Zoelhidjah 1364 (7-8/11-’45) dalam mana ditegaskan, bahwa:
1.    Memperkoeat persiapan Oemmat Islam oentoek berdjihad fi Sabilillah.
2.  Memperkoeat pertahanan Negara Indonesia dengan  berbagai  oesaha,  maka  disoesoenlah  soeatu barisan jg diberi nama: Barisan Sabilillah, dibawah pengawasan Masjoemi, jg peratoerannja sbb:
1.    Hal Anggota: Jang menjadi anggota Barisan ini adalah Oemat Islam.
2.  Hal Pimpinan: Poesat  Pimpinan  Barisan  ini  bernama: Markas Besar Sabilillah; jang terdiri dari 5 orang, antaranja seorang ahli siasah, 2 orang ahli Agama dan 2 orang ahli peperangan. Ditiap-tiap daerah diadakan Markas Sabilillah Daerah. Ialah Djawa Timoer, Djawa Tengah dan  Djawa  Barat  jang  masing-masing  terdiri dari 9 orang. Ditiap-tiap karesidenan diadakan Markas Sabilillah  Karesidenan,  jang  masing2  terdiri dari 7 orang. Ditiap-tiap kaboepaten diadakan Markas Sabilillah  Kaboepaten,  jang  masing2  terdiri dari 5 orang. Barisan ini adalah mendjadi barisan istimewa  dari  pada  Tentara  Keamanan  Rakjat (TKR).
Lalu, berdasar pertimbangan berbagai situasi dan kondisi pada saat itu, diputuskan bahwa markas pusat Laskar Sabilillah adalah di kota Malang di bawah komando KH. Masjkur yang juga berasal dari Singosari Malang.
Jelaslah, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tujuan dibentuknya Laskar Sabilillah ini adalah sebagai respon terhadap seruan jihad guna mempertahankan kedaulatan negara, membantu Tentara Keamanan Rakyat Indonesia yang masih terbilang baru berdiri, untuk berjuang bersama-sama melawan penjajahan di negeri tercinta ini. Perjuangan Laskar Sabilillah adalah ikhlas semata jihad fii sabilillah, yang mana mempertahankan kedaulatan negara adalah termasuk ibadah.




Laskar Sabilillah Dalam Pertempuran Heroik di Surabaya 10 November 1945

Keputusan menjadikan Kota Malang sebagai markas besar Laskar Sabilillah adalah tepat.  Pegunungan yang mengelilingi Kota Malang, membentengi kota ini secara alami. Sebuah keuntungan tersendiri bagi Laskar Sabilillah. Apalagi berjarak lumayan dekat dengan Surabaya yang sudah dijadikan markas oleh pihak Sekutu.

Mengambil tempat di sebuah daerah di pertigaan Blimbing Malang sebagai pusat komando, sekarang menjadi area berdirinya Masjid Sabilillah, laskar yang beranggotakan ulama, santri dan juga umat Islam secara luas dari berbagai elemen itu mengadakan pelatihan dan menyusun strategi perang.

Sementara itu di Surabaya, sejak terjadinya insiden bendera di Hotel Yamato pada tanggal 19 September 1945, keadaan terus memanas. Ulama, santri dan segenap rakyat Surabaya dan sekitarnya yang telah mendengar seruan jihad mulai melakukan serangan pada pihak Sekutu dan Belanda. Mulai dari serangan-serangan kecil hingga yang besar dan memakan korban yang banyak dari kedua belah pihak.

Karena kewalahan, akhirnya pihak tentara Sekutu di Surabaya meminta Presiden Sukarno untuk meredakan situasi. Maka diputuskan gencatan senjata antara pihak rakyat dan Sekutu pada tanggal 29 Oktober 1945. Namun pada 30 Oktober 1945 adu tembak kembali terjadi. Yang melegakan, ternyata yang memulai melepas tembakan lebih dahulu bukan dari pihak Indonesia tapi dari pihak Inggris. Adu tembak pada tanggal 30 Oktober 1945 ini menyebabkan Brigjen Mallaby tewas oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang belum diketahui indentitasnya.

Tewasnya Brigjen Mallaby membuat Inggris dan Sekutu marah. Pengganti Mallaby, yaitu Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengultimatum rakyat agar menyerahkan senjata di sebuah tempat yang telah ditentukan oleh Sekutu.  Ultimatum tersebut paling lambat tanggal 10 November 1945.

Tentu saja rakyat Indonesia menganggap ultimatum ini sebagai penghinaan. Hal ini semakin menggelorakan semangat berjihad di kalangan ulama, santri dan rakyat Indonesia secara luas. Pasukan Laskar Sabilillah yang telah berkumpul di markas pusat Malang dan juga kota-kota lainnya, secara bergelombang bergerak menuju Surabaya.


Laskar Sabilillah. (Gambar diambil dari Google)

Jumlah Pasukan Laskar Sabilillah yang berangkat ke medan pertempuran di Surabaya tidak terhitung berapa jumlah sebenarnya.  Hal  ini  karena  tidak  ada  pendaftaran  pasukan yang terkoodinir secara rapi. Keberangkatan  umat  adalah secara sukarela dan spontanitas. Dari tiap-tiap pesantren dan daerah di mana ulama atau kyainya berangkat ke  Surabaya, maka secara  otomatis para santri  dan  umat  akan  turut  menyertainya.

Begitu juga dari segi persenjataan. Pasukan Laskar Sabilillah kebanyakan hanya bermodal senjata tradisional seadanya, misalnya senjata tajam, parang,  bambu  runcing,  juga  ada  ketapel.  Pada  kenyataannya  laskar  adalah sebagai  pasukan  kuantitas yang meski jumlahnya ribuan,  harus menghadapi musuh yang jelas lebih siap untuk bertempur. Dilihat dari segi pengalaman perang, musuh adalah anggota kelompok negara pemenang Perang Dunia II, dan dari segi persenjataan, musuh memiliki persenjataan perang yang cukup modern.

Tapi semua realita itu tak memadamkan semangat juang Laskar Sabilillah. Cukuplah mereka bermodal semangat dan keberanian yang tinggi demi mempertahankan kemerdekaan Tanah Air yang baru berdiri.

Maka pada batas tanggal ultimatum yaitu 10 November 1945 ribuan pejuang Indonesia yang terdiri dari ulama, santri dan rakyat Indonesia telah berada di Surabaya. Mengangkat senjata dibawah komando Bung Tomo yang menyemangati dengan pembacaan fatwa Resolusi Jihad NU dan pekikan “Allahu Akbar” yang membahana. Bila menang akan merdeka dan bila mati akan mendapat sahid.

Meski para pejuang hanya menggunakan peralatan seadanya, ternyata tentara Sekutu kesulitan meredam perlawanan mereka. Sejarah mencatat bahwa pertempuran 10 November 1945 ini, adalah sangat heroik. Pertempuran ini berhasil membuktikan kepada dunia, bahwa proklamasi 17 Agustus 1945 adalah bukan pemberian Jepang namun karena usaha perjuangan jiwa dan raga dari seluruh rakyat Indonesia. Kelak, hari bersejarah itu ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.



Laskar Sabilillah Turut Bertempur Membela Bangsa Pada Agresi Militer Belanda I dan II

Keelokan berikut melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki Indonesia menjadi daya tarik kuat bagi Belanda untuk menjajah kembali bumi pertiwi. Tapi rakyat Indonesia tak sekali-kali membiarkan penjajah kembali di tanah air.

Meski pada pertempuran 10 Nopember Laskar Sabilillah terpukul telak dan ratusan nyawa menjadi korban, alih alih semangat membela kedaulatan rakyat menjadi padam, yang ada malah semakin membara. Pengalaman bertempur di medan juang Surabaya dijadikan pelajaran untuk meningkatkan kemampuan.

Di bawah pimpinan KH. Masjkur, Laskar Sabilillah terus membekali diri dengan berlatih dan mempelajari siasat perang di markas pusat Malang. Termasuk dari buku-buku militer yang pernah diajarkan Jepang melalui Pembela Tanah Air (PETA). Laskar Sabilillah juga melengkapi diri dengan persenjataan yang lebih modern dengan cara mengambil alih persenjataan dari Jepang, merebut dari tentara Sekutu atau mengambil milik anggota TKR yang sakit atau meninggal.

Belanda tak henti-hentinya melancarkan segala rencana agar bisa berkuasa lagi di negeri ini. Bila sebelumnya Belanda mendompleng Sekutu, sekarang semakin sering melakukan serangan secara militer. Perang pun terus berkecamuk, jihad terus berlangsung.

Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945, pemerintah Inggris mendesak Belanda mengambil sikap yang lebih luwes terhadap RI. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara RI dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani namun Belanda melanggar dengan melancarkan agresi militer I yang terjadi pada 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 197. Pasukan Laskar Sabilillah bahu membahu bersama Tentara Keamanan Rakyat menjadi garda terdepan untuk melawan agresi itu.

Dalam catatan sejarah,  diperkirakan ada sekitar dua ribu santri dari Laskar Sabilillah yang gugur saat menghadang kedatangan Belanda yang akan masuk ke kota Malang. Pasukan Penjajah bersenjata lengkap yang masuk dari arah Lawang itu hanya dilawan menggunakan bambu runcing dengan semangat yang membara.

Begitu pun ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II yang dimulai sejak 19 Desember 1948 dan berlangsung berbulan-bulan lamanya, Laskar Sabilillah setia memanggul senjata demi mempertahankan kemerdekaan bangsa. Laskar Sabilillah benar-benar telah menjalankan fatwa jihad yang diamanahkan para ulama.  Walau bagaimanapun, kebebasan menjalankan perintah agama dan merasai nikmatnya ibadah akan terhambat jika tanah air tempat berpijak berada dalam kondisi terjajah.



Osob Kiwalan Sebagai Bahasa Sandi Pejuang Malang

Belanda menganggap Kota Malang yang menjadi Markas Pusat Laskar Sabilillah, adalah kota penting dan strategis yang harus dikuasai. Apalagi terdapat perkebunan tebu yang subur berikut pabrik gula yang produktif.

Maka tak aneh, ketika Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dan melancarkan Agresi Militer I kemudian dilanjut dengan Agresi MIliter II pada 1948, Malang masuk dalam daftar kota yang menjadi target serangan.  

TKR yang dibantu Laskar Sabilillah beserta seluruh rakyat Malang, berjuang tidak takut mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Taktik perang gerilya pun disusun. Salah satu taktik cerdik yang digunakan para pejuang Malang, dan terekam dalam tinta emas sejarah adalah bahasa walikan (osob kiwalan) sebagai sandi rahasia untuk mengirim pesan kepada sesama pejuang.

Osob Kiwalan atau bahasa walikan adalah kata-kata yang pembacaannya dibalik. Bila biasanya dibaca dari kiri ke kanan, maka dibalik dari kanan ke kiri. Kode walikan ini ternyata sangat efektif untuk mengirim pesan rahasia agar tidak mudah dipahami lawan. Osob kiwalan juga menjadi tanda pengenal untuk mengetahui mana lawan mana kawan, karena pada masa perang sangat mungkin terjadi bahwa mata-mata musuh adalah orang-orang pribumi.

Kini, bahasa walikan menjadi dialek khas kota ini. Osob kiwalan adalah bahasa kebanggaan warga Malang dan menjelma alat pengikat tali persaudaraan ketika berjumpa  dengan sesama Arema (sebutan untuk arek Malang /orang asli Malang) di tanah rantau.



Masjid Sabilillah Malang Sebagai Monumen Perjuangan Ulama dan Santri


 
Masjid Sabilillah Blimbing Malang (Sumber foto: Dokumen pribadi)

Berdasarkan fakta sejarah bahwa Kota Malang pernah menjadi markas barisan pejuang berani mati bernama Laskar Sabilillah maka perlu dibangun sebuah monumen untuk mengingat perjuangan Ulama dan santri serta umat Islam secara luas dalam membela kedaulatan Negara Indonesia. Pada medio 1968, KH. Masjkur serta beberapa ulama Malang memutuskan bahwa monumen perjuangan tersebut akan di bangun dalam sebuah bentuk masjid.

Kenapa harus berbentuk masjid? Sejenak mari kita meninjau apakah masjid itu.

Jika di tinjau secara etimologi (ilmu yang mempelajari asal-usul kata) masjid berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata sajada-sujud, masjad/masjid. Sujud memiliki arti taat, patuh, dan tunduk dengan hormat. Makna sujud ini, jika diekspresikan secara lahiriah adalah meletakkan dahi, kedua tangan, lutut dan kaki ke bumi. Jadi secara sederhana bisa disimpulkan bahwa masjid adalah tempat untuk bersujud. Secara selaras Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online mendefinisikan bahwa masjid adalah rumah atau bangunan tempat bersembahyang umat Islam.

Catatan: Sebenarnya kalau kita berbicara tentang gedung yang disitilahkan sebagai masjid di dalam agama Islam, maka pengertian sebagai tempat sembahyang/sujud saja bisa dikatakan tidak sepenuhnya tepat. Bukankah Tuhan telah menjadikan seluruh jagat ini adalah masjid, tempat sujud atau sembahyang, apakah bedanya seluruh bumi sebagai masjid dan gedung sebagai masjid?

Baginda Nabi SAW dawuh bahwa "Seluruh jagad telah dijadikan bagiku masjid (tempat sujud)" (HR Bukhari) adalah maksudnya bahwa sujud kepada Tuhan tidak terikat pada tempat. Maka seluruh jagad adalah masjid bagi seorang muslim, di manapun berada. Di sawah, di gunung, di hutan, di kendaraan jika waktu salat telah tiba maka salatlah. Dengan hadits itu Baginda Nabi SAW menyatakan bahwa dalam menunaikan kewajiban menyembah Tuhan, Muslim tidak terikat oleh ruang.

Bahwa masjid adalah bangunan utama bagi umat Islam sudah dicontohkan oleh Baginda Nabi SAW. Ketika pertama kali hijrah di bumi Madinah, agenda pertama Rasulullah adalah membangun masjid. Di Madinah, tugas kerasulan semakin kompleks daripada ketika Makkah. Tidak hanya menyampaikan wahyu dan menjadi perantara manusia dengan Tuhan, tapi juga mendidik membina dan membangun masyarakat Islam. Dari masjid, akan mudah bagi Nabi untuk melaksanakan tugas tersebut. Selain untuk tempat beribadah, masjid juga digunakan sebagai tempat syiar agama, tempat pendidikan khususnya ilmu-ilmu agama, tempat pengayaan kebudayaan Islam dan juga sebagai benteng pertahanan umat.

Maka dengan membangun sebuah monumen berbentuk masjid, diharapkan semangat perjuangan Laskar Sabilillah terus tumbuh dan semerbak untuk mengisi kemerdekaan dalam bentuk syiar-syiar agama dan berbagai pelayanan untuk ummat.

Pembangunan Masjid Sabilillah mulai dilaksanakan pada tahun 1974.  Berlokasi di Jalan Ahmad Yani Blimbing di atas lahan seluas 8.100 meter persegi. Lahan itu dulunya adalah lahan kosong  yang pada masa perang digunakan menjadi markas Laskar Sabilillah. Karena dianggap sebagai sebuah monumen, bentuk dari Masjid Sabilillah benar-benar penuh arti.

Berikut bentuk arsitektur Masjid Sabilillah

1. 17 pilar penyangga, menyimbolkan tanggal kemerdekaan RI dan juga jumlah rokaat sholat dalam sehari semalam.

2. Tinggi pilar adalah 8 m. Begitu juga jumlah lengkung kanopi berjumlah 8 buah. Hal ini menyimbolkan bulan Agustus (bulan ke -8 dalam kalender masehi) sebagai bulan proklamasi. Selain itu menyimbolkan 8 buah pintu surga.

3. Lebar masjid adalah 45 m, begitu juga tinggi menara, menyimbolkan tahun kemerdekaan Indonesia yaitu tahun 1945. Makna lain dari angka 45 adalah sifat Allah (20), sifat mokhal (20), sifat Rasul (4) dan sifat jaiz (1).

4. Jarak antar tiang adalah 5 m, menyimbolkan rukun Islam dan Pancasila sebagai dasar negara.

5. Bentuk menara adalah segi 6, melambangkan rukun iman.

6. Diameter kubah adalah 20 m, malambangkan 20 sifat Allah.

7. Jumlah pilar utama adalah 9, melambangkan Walisongo. Sejarah mencatat Islam berkembang pesat di Nusantara pada abad ke 14. Seperti diketahui, metode dakwah Walisongo adalah sangat bijak dan lembut. Bahkan menggunakan budaya setempat dalam berdakwah, selama tidak bertentangan dengan syariat. Contohnya Sunan Kalijaga menggunakan media wayang dalam berdakwah, sehingga mudah diterima masyarakat yang masih kental dengan budaya hindu.

Untuk lebih mengoptimalkan kebermanfaatan, dibentuklah Yayasan Sabilillah. Dengan demikian Masjid Raya Sabilillah Malang semakin eksis dalam menjalankan estafet perjuangan Laskar Sabilillah.

Adapun kegiatan yang aktif dilakukan di Masjid ini antara lain:

Dalam bidang pendidikan:

1.      Yayasan Sabilillah telah membina pendidikan mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Lanjutan Atas.

2.      Setiap hari di ruang utama masjid ini, juga ramai dengan majelis-majelis taklim. Mulai dari kelas baca tulis Al-Qur'an, kajian kitab fiqih, aqidah akhlak, tasawuf sampai tafsir Al-Qur'an. Ada yang untuk anak-anak, ibu-ibu dan umum.

3.      Layanan perpustakaan untuk umum. Koleksi bukunya cukup banyak, khususnya di bidang agama. Anda bisa meminjam buku-buku di sini. Cukup membayar 2000-5000 rupiah per buku dan meninggalkan kartu identitas yang berlaku dengan waktu pinjam selama 1 (satu) minggu.



Dalam bidang sosial kemasyarakatan:

Yayasan Sabilillah mengadakan fasilitas Ambulan, poliklinik, Laziz, bimbingan haji dan pujasera Sabilillah.


SDI Sabilillah Malang (Sumber foto: Dokumen Pribadi)


Kantor Laziz Sabilillah (Sumber foto: Dokumen Pribadi)


Perpustakaan Sabilillah Malang (Sumber foto: Dokumen pribadi)



Mengenal Sosok KH. Masjkur, Putra Malang Pimpinan Tertinggi Laskar Sabilillah

K.H. Masjkur lahir pada tanggal 30 Desember 1899 di Singosari Malang. Sepulang dari ibadah haji pada usia 9 tahun, Maskur kecil memulai perjalanan mencari ilmu pada beberapa pesantren. Di antaranya Pesantren Bungkuk dan Pesantren Sono Buduran Sidoarjo.

Kemudian ketika menginjak remaja hingga dewasa menuntut ilmu di Pesantren Mangunsari Nganjuk, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Penyosongan Cibatu, Pesantren Kresek Cibatu dan Pesantren Ngamplang Garut. Hal ini menjadikan KH Masjkur, atas izin Allah, memiliki pemahaman yang luas dalam ilmu agama. Beliau pulang kampung halamannya di Singosari pada 1923 dan mendirikan pesantren sekaligus madrasah bernama Mishbahul Wathan yang berarti Pelita Tanah Air.

Jadi, terpilihnya KH. Masjkur sebagai Pimpinan Laskar Sabilillah bukan tanpa alasan. Dalam masyarakat Malang beliau mempunyai  kedudukan  tersendiri. Apalagi sejak  masa  kolonial, beliau sudah aktif dalam organisasi kemasyarakatan, terutama  pada  bidang  pendidikan  yaitu  MisbahulWathon (1922), kemudian berubah menjadi Nahdlotul  Wathon  (1924).  Organisasi  ini  bisa  dikatakan sebagai  cikal-bakal  Nahdlotul  Ulama’.  NU  yang pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.

Pada  masa  Jepang, KH. Masjkur turut serta sebagai pendiri Laskar Hizbullah, juga sebagai pengurus pusat NU dan MIAI (Masyumi). KH. Masjkur juga hadir pada pertemuan yang akhirnya melahirkan fatwa Resolusi Jihad NU bersama KH. Hasyim dan delegasi ulama NU di Bubutan Surabaya paa tanggal 21-22 Okober 1945. Sehingga dengan peran serta kedudukannya sebagai ulama’ pada masa dan daerah tersebut,  tentu  sangat  mudah  untuk  mengerahkan massa dalam perjuangan. Beliau juga pernah mendapatkan pelatihan militer pada masa Jepang, sehingga pemilihan  beliau  sebagai  Panglima  Laskar  dan  penempatan Markas Laskar di Malang dapat dikatakan sangat tepat.

KH. Masjkur ikut berperan serta di masa-masa awal berdirinya Pemerintahan Indonesia,. Beliau  menjadi Menteri Agama dalam lima kabinet kerja yang berbeda pada tahun 1948-1955. Salah satu keputusan penting yang beliau ambil saat menjabat Menteri Agama adalah membentuk lembaga Kantor Urusan Agama hingga tingkat Kabupaten.

Selain mengabdi di organisasi NU, KH. Masjkur juga mengabdi di bidang pendidikan hingga akhir hayatnya. Selain mengajar dan mengasuh lembaga pendidikan yang didirikannya, Beliau juga tercatat sebagai pendiri beberapa lembaga pendidikan Islam. Salah satunya adalah Universitas Islam Malang. KH. Tolhah Hasan mengatakan jika beliau adalah sosok yang banyak mengeluarkan harta untuk mendirikan sekolah-sekolah secara ikhlas tanpa pamrih. KH. Masjkur wafat pada tanggal 19 Desember 1992 pada usia 90 tahun.

Berdasar catatan sepak terjang KH. Masjkur bagi bangsa dan negara, maka menjelang hari pahlawan Pemerintah menetapkan KH. Masjkur sebagai Pahlawan Nasional.

Demikianlah yang dapat disampaikan dalam artikel Masjid Sabilillah Blimbing, Monumen Perjuangan Ulama dan Santri Malang Yang Tak Takut Mati, Perspektif Historis ini. Semoga bermanfaat. Terimakasih.



Daftar Pustaka

1.      Irawan MN, Aguk, Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Ashari, Global Media Utama, Depok, 2012

2.      Abazhah, Nizar, Sekolah Cinta Rasulullah, Zaman, Bandung, 2009

3.      Baqir Zein, Abdul, Masjid-masjid Bersejarah Di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1999

4.      Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Peribadatan Dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994

5.      Bebergai artikel terkait yang dimuat di media online Tanah Air.


Comments