Antara Childfree dan Investasi Akhirat, Parenting Sharing

 Assalamualaikum pembaca yang budiman. 

Childfree. Topik yang lagi ramai sekarang. (Sebelumya mohon maaf jika tulisan kali ini agak panjang)

Childfree adalah salah satu keadaan di mana pasangan suami istri memutuskan tidak memiliki anak. Banyak sebab kenapa seseorang memutuskan hal tersebut. Bisa karena trauma masa kecil yang belum selesai, sibuk dengan pekerjaan, bingung bagaimana mengasuhnya sampai pada biaya pendidikan. 

Pada tulisan ini, izinkan saya menulis opini dari sisi membiayai pendidikan. Mungkin saya juga akan menulis dari sisi bagaimana Islam memandang childfree, yang saya sarikan dari bukunya Profesor Abd Rahim Umran, Guru besar Al-Azhar bidang Keluarga Islam, di artikel berikutnya. Doakan semoga rampung.

Investasi Akhirat.

Baik. Sekarang ini banyak kita temui slogan bahwa anak adalah investasi akhirat, sehingga dengan demikian, apa yang dikeluarkan orang tua untuk anak dipandang sebagai investasi atau istilah kerennya humant investment. Bisa diterimakah istilah ini?Atau tepatkah? Mari kita telaah dari dua sisi, baik secara ekonomi dan agama.


Pandangan secara ekonomi.

Mengutip penjelasan Dr. Farida Rahmawati, Dosen Ekonomi Universitas Negeri Malang, investasi adalah kegiatan penanaman aset/modal, tujuannya adalah generating income, atau memperoleh peningkatan nilai terutama dari sisi kuantitas (jumlah) di masa mendatang.

Masih mengutip uraian sang ibu dosen, prinsip dasar investasi adalah High Risk High Return. Semakin tinggi resiko, semakin besar keuntungan yang didapat, begitu pun sebaliknya. Atau ada lagi istilah serupa meski tak sama persis, No Pain No Gain, yang arti bebasnya adalah jika tidak ada pengorbanan maka tidak ada hasil.

Begitulah definisi investasi secara umum menurut pandangan ekonomi. 

Nah, rupa-rupanya beberapa pihak (baca: pihak yang condong pada childfree) mengartikan biaya mendidik anak ~ atau bahasa sehari-harinya: ongkos ngopeni anak (biaya susu, SPP, les, pesantren, makanan, vitamin, sandang, pangan, njajan dll) yang oleh para motivator parenting dan ahli pendidikan sering diistilahkan sebagai investasi akhirat atau kerennya humant investment ~ dengan makna harfiah investasi secara ekonomi. 

Pihak tersebut memandang investasi mendidik anak dari sisi hitungan ekonomi yang "untung rugi". Anak itu investasinya (biayanya) tinggi, apalagi di zaman sekarang yang semakin kapitalis. Pun tak hanya itu, resikonya tinggi pula. Zaman akhir yang semakin hedon, bila salah "invest" bisa-bisa bukan untung yang didapat. Begitulah asumsi mereka. Maka, mereka pun condong memilih cara-cara investasi akhirat yang aman ~ yang tidak melibatkan sesuatu yang bernyawa (baca: anak) ~ infak misalnya.

Pandangan secara agama. 

Saya awalnya agak rancu dengan istilah anak sebagai investasi, tepatnya investasi akhirat. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul. Investasi itu kan penanaman modal, aset, cuan atau apalah dengan harapan imbal balik yang lebih besar. Kok bisa pendidikan anak disebut sebagai investasi? Apakah tidak bikin kecewa, bila misalnya ~naudzubillah~ tidak sesuai harapan? 

Atau bisa jadi juga, dengan menganalogikan pendidikan sebagai investasi apakah tidak menjadi celah terhadap munculnya komersialisasi atau industrialisasi pendidikan? Yang sebagaimana kaidah investasi high risk high return, maka akan berbunyi: bila mau pendidikan bagus, maka harus mau membayar mahal SPP -nya? Meski tak memungkiri juga, sebagaimana prinsip perdagangan, yang menyatakan ada harga ada rupa?

Atau mungkinkah frasa investasi akhirat adalah bahasa zaman now saja, supaya orang tertarik, tak ragu dan tak pelit menginfakkan harta untuk pendidikan anak yang mana termasuk dalam sedekah jariyah?

Dan beberapa pertanyaan lain serupa.

Saya merenung, sambil coba-coba menelaah referensi yang ada. Alhamdulillah ada titik terang. 

Ternyata, digunakannya istilah investasi akhirat, bukan tanpa alasan.  Kata investasi, atau semacamnya yang berbau kapitalis ~ hal yang berhubungan dengan ekonomi perdagangan ~ bukanlah barang baru dalam agama Islam. Bahkan Allah sendiri menggunakan kata pinjaman (istilah yang juga lekat di dunia kapitalis), pada Al-Baqoroh ayat 245 yang artinya: 

"Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, pasti Allah berikan ganjaran kepadanya dengan gandaan yang banyak."

Ayat ini turun karena sahabat bernama Abu Dahdah rela membeli pohon kurma yang disengketakan dua orang bertetangga dengan harga sebuah kebun kurma (sepohon ditukar sekebun). Abu Dahdah mengharap ganjaran berupa kebun kurma di surga kelak seperti yang telah dijanjikan Nabi SAW.

Kemudian, ingatkah anda hadist yang mengajarkan bahwa sedekah 1 kali, Allah akan membalas 10 kali, sedekah 10 berbalas 100 dan seterusnya? 

Lalu, juga ingatkah anda perihal ayat infak yang sudah sangat familiar didengungkan para dai, berinfak harta 1000 berbalas 700000, 1 juta berbalas 700 juta dan seterusnya? Yang mana ajaran ini ada di surat Al-Baqoroh ayat 261 yang artinya: 

"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui."

Tak cukup di situ, ternyata dalam agama ada satu istilah dari dunia kapitalis yang dipakai secara terang-terangan. Ingatkah anda pada frasa perniagaan dengan Allah? Ajaran ini ada di surat As-Shaf ayat 10-12, yang artinya: 

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. ash-Shaff: 10-12).

Nah, kalau kita teliti, kalimat-kalimat yang berbunyi:

~Pinjaman yang baik pada Allah akan mendapat ganjaran dengan gandaan yang banyak (berlaku kelipatan).

~Sedekah (berbuat baik) 1 kali berbalas 10 kali (berlaku kelipatan).

~Berinfak harta di jalan Allah, berbalas 700 kali (berlaku kelipatan).

~ Perniagaan dengan Allah yang berganjar surga (berlaku kelipatan).

Bukankah semua itu mirip konsep investasi yang berprinsip menanam modal untuk mendapat generating income? Iya, toh?

Itulah, kenapa sekarang bisa lebih dipahami, kenapa ngopeni anak, disebut sebagai investasi akhirat. Kalau investasi di dunia bisa rugi atau bisa untung, maka investasi akhirat generating income-nya nyata, bukan tipu-tipu, tidak akan pernah merugi, hasilnya bisa dinikmati sejak di dunia dan sampai akhirat. Lha wong Allah sendiri yang janji. 

Itulah, lagi-lagi saya sekarang juga memahami kenapa Gus Baha mengatakan: pandanglah anakmu sebagai penerus sujud, penerus kalimat Allah, kalimat tauhid, jadi beberapa pun biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan anak, sama dengan membiayai agama Allah. Yang harus digarisbawahi, frasa membiayai agama Allah, artinya berniaga dengan Allah.

Jika sudah diniatkan demikian, kita bisa disebut telah melakukan investasi yang sekali dayung tiga pulau terlampaui. Yaitu, pertama, kita telah beirinvest berupa sedekah (karena ngopeni anak dengan baik) yang berbalas 10 kali kebaikan. Kedua kita telah berinvest berupa infak dengan harta di jalan Allah yang akan berlipat 700 kali (karena mengeluarkan biaya pendidikan dan tetek bengek ngopeni) ~ bayar SPP 300.000 balik 210.000.000 inshaallah. Sekaligus ketiga, kita telah berniaga di jalan Allah (karena mendidik anak sebagai amanah, adalah termasuk jihad fi sabilillah).

Alhamdulillah, ini investasi yang nabok empat kali kan, ya. Dari sisi mana pun, kanan, kiri, depan, belakang dapat semua.  Jika kita sudah punya mindset demikian, maka inshaallah tidak akan ada lagi gremengan mengenai melangitnya biaya ngopeni anak. Tak ada lagi kegamangan, apakah sebaiknya childfree atau tidak? (Eh, kalau keputusan childfree adalah hak masing-masing, sih)

Terakhir, mari kita berdoa, semoga apa yang telah diusahakan semua orang tua dalam mengasuh anak dalam koridor keimanan, sebagai khalifah penerus kalimat tauhid yang memakmurkan bumi, tidak akan pernah merugi, baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Amien.

"Pendidikan adalah salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia, karena manusia dianugerahi akal dan hati nurani yang hanya bisa terasah melalui pendidikan" (Nazlah Hasni)


Wallahua'lam

Malang, 3 September 2021

Comments

Post a Comment