RUU KIA: Cuti Hamil/Melahirkan 6 Bulan, Antara Harapan dan (Kemungkinan) Realisasinya di Negara Kita.

RUU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak, diusulkan Senin, 20 Juni 2022 lalu) memang masih draft, tapi sudah cukup memberikan angin segar bagi ibu bekerja untuk mendapat hak cuti hamil, melahirkan dan menyusui selama 6 bulan (selama ini, di negara kita "hanya" 3 bulan).

Dasar RUU cuti 6 bulan ini adalah pertimbangan medis demi pemulihan kesehatan ibu melahirkan, baik fisik dan mental, serta tercapainya pemenuhan hak bayi untuk mendapat ASi eksklusif.

Tak hanya itu, konon di RUU ini, perempuan yang cuti hamil, melahirkan dan menyusui tetap mendapat hak 60-100 % gaji perbulannya, selama masa cuti. Bahkan, menurut RUU ini, pihak suami juga boleh ambil cuti, maksimal 40 hari guna mendampingi sang istri selama proses melahirkan hingga berakhirnya masa nifas.

RUU yang sangat amazing. Saya pernah membaca kalau di beberapa negara maju, telah lama menerapkan masa cuti hamil, melahirkan dan menyusui selama 6 bulan. Bahkan ada yang sampai 1.5 tahun (gabungan ayah dan ibu) seperti di Swedia. Jadi 6 bulan pertama untuk ibu, 6 bulan berikutnya untuk ayah, dan sisanya bisa diatur sesuai kesepakatan ayah dan ibu untuk mengasuh dan membangun bonding sedalam-dalamnya dengan anak di usia golden age, sampai pada tahap si batita siap ditinggal di daycare (penitipan anak).

Negara maju memang sangat memperhatikan perawatan generasi termasuk perihal kesehatan ibu dan batita. Banyak faktor kenapa negara maju berani menetapkan kebijakan demikian, tiga yang paling penting adalah:

1. Tingkat pendidikan dan kesadaran pemerintah dan warganya, yang sadar akan pentingnya pemulihan fisik dan mental Ibu pasca melahirkan, juga terpenuhinya Asi ekslusif untuk bayi.

2. Kemapanan finansial negara, sebagai backing terakhir pembayaran hak ibu/ayah selama masa cuti.

3. Untuk mendukung penuh berlangsungnya regenerasi (yang mana pertumbuhan penduduk di negara maju, tidak sepesat di negara berkembang, karena ada pergeseran nilai di kalangan generasi muda mereka, perihal memutuskan punya anak atau tidak?).
Dengan kata lain, rata-rata negara maju mengalami penurunan angka kelahiran, sehingga terjadi gap generasi. Hal ini membuat pemerintah bergerak cepat membuat kebijakan tentang masa cuti, hak dan tunjangan bagi pasangan yang memiliki anak.

Dilema Cuti Melahirkan 6 Bulan di Indonesia

Di Indonesia jamak ditemui pasangan suami istri yang memiliki anak lebih dari satu (Alhamdulillah Barakallah 🥰). Tentu saja ini anugerah. Namun sehubungan kebijakan cuti 6 bulan, bisa menimbulkan dilema. Di satu sisi, merupakan bentuk penghormatan bagi hak pemulihan organ reproduksi manusia, tapi di sisi lain yang juga tak kalah penting yaitu sedikit banyak akan mengganggu stabilitas perusahaan/instansi, baik dari sisi keuangan dan juga produktifitas kerja (karena harus tetap membayar gaji karyawan yang cuti). Belum lagi bila si karyawan perempuan (punya rencana) akan melahirkan lebih dari satu anak, yang berarti harus mendapat hak cuti yang sama setiap kali melahirkan.

Dilema yang kedua, bukan tidak mungkin akan menimbulkan keputusan lain di dunia kerja, yaitu pihak perusahaan/instansi kelak lebih mengutamakan menerima karyawan laki-laki daripada perempuan. Hal ini akan berdampak berkurangnya lapangan kerja bagi perempuan. Padahal sekarang ini, peran perempuan tidak bisa dianggap remeh dalam ikut serta membangun ekonomi keluarga, yang pada implikasinya juga ikut menjaga ketahanan ekonomi negara (karena ekonomi negara ditentukan dari "amannya" ketahanan ekonomi keluarga sebagai satuan terkecil di masyarakat)


Terlepas dari pro kontra atau perkiraan dilema yang mungkin timbul, meski bukan Ibu Bekerja, tentu saya mendukung kebijakan cuti hamil-melahirkan selama 6 bulan dan cuti ayah maksimal 40 hari guna mendamping istri melahirkan. Saya juga berharap, nanti pada realisasinya, RUU ini bisa berjalan sesuai yang direncanakan. Kita tahu, pasti tidak mudah bagi instansi atau perusahaaan, dengan pertimbangan untung rugi, untuk tetap "membayar" karyawan yang cuti (yang artinya tidak produktif/ berkontribusi bagi perusahaan/instansi dalam masa tertentu).

Demikianlah, Wallahua'lam.

Malang, 22 Juni 2022

Comments