Siapa Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak (KSA)?

Pelaku kejahatan seksual pada anak tidak dapat diidentifikasi dalam test psikologi, tidak juga dari ciri-ciri fisiknya. 

Carla Van Dam, seorang ahli psikologi klinik, memawancarai ratusan pelaku KSA dan sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada psikometri yang dapat mengindentifikasi apakah seseorang adalah pelaku kejahatan seksual. Seperti halnya studi korupsi, sulit mendiagnosa karakter seseorang yang tampak sopan, tetapi ternyata koruptor kelas kakap yang menjarah uang negara. Demikian pula pelaku KSA. Respon orang-orang yang mengenali pelaku, hampir selalu berkata, "Orangnya sopan, tak dinyana ia tega melakukan perbuatan itu!"

Begitu juga psikologist bernama Salter, menyimpulkan dalam bukunya (1995): Tidak ada ciri fisik yang membedakan mereka dari orang lain, dan tidak ada tanda-tanda psikologis yang dengan jelas menandai para pelaku. Bahkan, banyak di antara pelaku KSA dikenal dengan baik oleh anak dan orang tua. Yang pasti, pelaku KSA adalah pembohong ulung yang pandai menutup rapat aksi bejatnya. Pelaku akan mengingkari telah melakukan KSA, berbelit-belit dan berubah-ubah jawabannya bila ditanya anggota keluarganya. 

Jadi, pelaku tidak dapat diidentifikasi melalui profil. Ia bisa berasal dari kalangan mana saja, bahkan terkadang orang dari komunitas terpandang sekali pun. 
Pelaku, bisa jadi tidak tulus menyesali perbuatannya, tanpa bantuan yang kuat dari keluarga dan luar keluarga. 

Menurut Adams dan Fay (1998), Kebanyakan pelaku akan membantah telah melakukan KSA, mengecil-ngecilkan jumlah aksi mereka terhadap anak. Bila ditekan, mereka mungkin hanya mengakui sebagian saja dari perilaku biadab mereka dan menyalahkan orang lain. 

Modus operandi yang dilancarkan pelaku KSA umumnya menggunakan iming-iming "hadiah" pada anak (misalnya dengan permen, uang atau mainan), ancaman agar korban merahasiakan, dan dilakukan di tempat sepi yang minim saksi mata. 

Data statistik menunjukkan jika pelaku KSA mayoritas ada pada kisaran 18-25 tahun (juga tak menutup kemungkinan, Anak Baru Gede (ABG) atau remaja tanggung) dan kisaran 20-45 tahun. Menurut para ahli, pelaku cenderung melakukan KSA lagi, kecuali kalau mendapat terapi khusus, dan terus menjaga kewaspadaan dan kehati-hatian yang dapat memicu tindakan baru KSA.

Demikianlah, semoga pada masa mendatang, psikolog dan psikiater dapat mengembangkan kuesener untuk mengindetifikasi pelaku KSA dan juga metode terapi pemulihannya. Aamien.

Wallahua'lam bis showab. Semoga selalu dalam perlindungan Allah SWT di mana pun berada. 

Comments