Gempa 16 November 2016, Sebuah Catatan Harian

Malang, 16 November 2016 pukul 22.00


Malam telah seluruhnya meyelimutkan gelapnya. Empat buah hatiku telah terlelap di peraduan masing-masing, dan aku pun sedang menyiapkan diri untuk menyusul mereka berlayar di alam mimpi. Menggosok gigi, mencuci muka, mencuci kaki, berwudhu dan sholat isya' telah kutunaikan. Kurebahkan badanku di samping Averroes si bungsu.

Belum juga mata ini terpejam sempurna, belum juga mulut ini selesai merapal doa akan tidur, tiba-tiba aku merasakan ada seseorang menggoyang-goyang tempat tidurku, aku terkesiap, siapa pula di antara empat buah hati yang terbangun dan iseng mengajak bermain? namun ku lihat mereka semua terlelap, tak ada tanda-tanda "kehidupan" di wajah mereka.
Goyangan terasa semakin keras, diiringi suara gemirisik kaca jendela kamar. Seperti goncangan bukan goyangan. Sedetik kemudian sepenuhnya ku tersadar bahwa ini bukan permainan anak-anak. Ini gempa. Panik menjalariku seketika. Degupan jantung melompat-lompat dengan cepat. Namun aku berusaha keras menjaga agar kestabilanku tetap pada tempatnya supaya tidak goyah ke kanan, ke kiri atau bahkan berantakan.  Ini adalah ketika aku menghadapi bencana alam saat suami sedang bertugas di luar.

Detik berikutnya, aku melompat dari tempat tidur, ku raih Averroes ke dalam gendonganku, dengan sedikit berteriak, cepat ku bangunkan si sulung dan anak yang kedua.

" Kakak Ula... mas Eriq...bangun-bangun ... kita harus keluar, nak. Ada Gempa" pekikku berulang. Dengan setengah sadar mereka terbangun.

Goncangan masih terus terasa. Bunyi gemirisik kaca jendela semakin keras.

" Kak tolong gendong dik Ahfa ya..." kataku pada Farhanah, si sulung, tetap dengan setengah berteriak. Ahfa adalah anak ke tiga.

Kami berlari menuruni tangga, karena memang kamar kami di lantai dua. Ku buka pintu utama, beruntung, anak kunci pintu utama tergantung di pintu, sehingga kami bisa membuka pintu dengan cepat. Kami terus berlari melewati carport, lalu ku buka pintu pagar dan berhambur keluar.

Entah kapan berhentinya gempa, yang pasti ketika kami tiba di jalan, goncangannya sudah tidak terasa. Ku lihat ada beberapa tetangga juga keluar dari rumah mereka dan berkerumun di jalanan, membicarakan gempa yang baru saja terjadi.

" Syukurlah udah berhenti" bisikku pada diri sendiri.

" ma, ada apa kok kita malam-malam ada di lual " tanya Ahfa. Rupanya dia terbangun saat kakaknya menggendong dan membawanya berlari dengan cepat.

"Ada gempa nak, rumah kita tadi bergoyang-goyang. Makanya kita harus segera keluar untuk menyelematkan diri" jawabku. Mudah-mudahan dia mengerti. Aku mengharapkan dia tidak melontarkan pertanyaan lanjutan karena ku rasa bukan saat yang tepat untuk meladeni pertanyaan-pertanyaannya. Lututku masih terasa lemas dan degupan jantung belum juga normal. Sepertinya Ahfa mengerti apa yang kupikirkan, dia tidak bertanya-tanya lagi. Hanya menggelayut manja pada kakaknya.

Setelah beberapa saat berada di luar rumah dan memastikan gempa telah benar-benar berhenti, kami masuk kembali.

Di kamar, anak-anak tidak bisa langsung kembali tidur. Bisa di maklumi karena memang kejadian tadi begitu cepat dan mengejutkan. Juga karena masih ada kekhawatiran akan adanya gempa susulan. Akhirnya setelah mengobrol santai ngalor-ngidul, mereka tertidur juga.

***

Ketika anak-anak telah kembali ke alam mimpi masing-masing, tidak demikian denganku.
Aku mengambil hape dan membuka grup-grup di WA yang ternyata telah ramai membahas gempa tadi. Di informasikan bahwa gempanya berkekuatan 6,2 skala Ritcher dan berpusat di samudera hindia sekitar beberapa mil di tenggara Kabupaten Malang. Bahkan getarannya terasa sampai Banyuwangi dan Bali.

Alam pikirku berkelana, kejadian tadi begitu cepat seakan tak memberi kami waktu untuk bersiap, sekedar untuk berjilbab misalnya. Bahkan aku dan Farhanah yang kini sudah remaja, keluar tanpa mengenakan jilbab. Kami tak punya waktu untuk mengambil jilbab dan memakainya, padahal letak gantungan tempat kami menyimpan jilbab juga tidak sulit, malah mudah di jangkau. Beruntung kami membiasakan diri mengenakan busana tidur yang meskipun longgar, ringan, santai dan adem namun tetap panjang dan bahannya agak tebal, sampai mata kaki menutupi badan.

Jadi teringat cerita tentang Sayyidatina Fathmah Azzahro putri Baginda Nabi SAW. Ketika telah terasa maut akan segera menjemputnya, Sayyidatina Fathimah berwasiat pada suaminya Sayyidina Ali, untuk dibuatkan keranda dengan tujuan supaya orang banyak tidak melihat jenazahnya secara langsung. Permintaan ini didasarkan karena semata sifat malu Saayidatina Fathimah yang sangat tinggi, bahkan dia tetap malu jenazahnya yang sudah tidak bernyawa dan telah tertutup kain kafan dilihat orang lain. Konon keranda Sayyidatina Fathimah adalah keranda pertama dalam sejarah islam yang digunakan untuk membawa jenazah.

Aku merenungi bahwa musibah bisa datang sewaktu-waktu, siang atau malam dan bisa juga merengut jiwa-jiwa tanpa minta izin terlebih dahulu. Jadi, memang sangat penting memakai busana tidur yang panjang, berwudhu dan sholat isya ketika akan tidur. Ini adalah self reminder bagi aku pribadi.

Akhir kata teriring doa mudah-mudahan kita semua mendapatkan husnul khotimah
amin.


Wallahua'lam bisshowab

Malang, 21 November 2016


#onedayonepost
#catatanharian


Comments

Post a Comment