Cerbung: Melati Di Taman Hati (3)

"Maaf, Bu Nana, saya ga sengaja" kata Tia sambil menunduk dalam.

"Tiaaaa, apa yang kau lakukan? Roti-roti ini akan segera di ambil oleh pemesan. Ini sudah kurang satu jam lagi lho, apa bisa kita mengejar membuat kekurangannya? bisa-bisa kita di tinggal pelanggan gara-gara tidak tepat waktu dan jumlah" Bu Nana mengomel keras sambil memperhatikan roti-roti yang telah pindah tempat di lantai. Ina, Wati dan Dini, di tempatnya masing-masing, pura-pura tidak mendengar, mereka tetap melanjutkan bekerja dalam diam. Kemungkinan sih sambil menguping. Mereka tak berani bersuara.

Tia yang merasa bersalah, hanya diam saja.

"Ayo sekarang apa yang bisa kau lakukan? jangan diam saja dong, bereskan roti-roti ini kek, dan hitung berapa jumlah semua roti yang rusak ini"


Tia menurut, sejurus kemudian, dia berjongkok memungut roti-roti itu. Dibedakannya antara roti yang masih terlihat bersih dan yang sudah benar-benar kotor atau rusak. Dihitungnya semua berjumlah 40 buah. Hmm itu jumlah satu adonan. Untuk membuat sebuah adonan roti, mulai dari menimbang,menguleni sampai pengembangan atau fermentasi hingga adonan siap di panggang, biasanya butuh 1,5 jam, batin Tia. Sekarang jam 15.10, sepertinya cukup untuk mengejar membuat roti pengganti yang rusak ini, Mudah-mudahan cukup waktunya.


Tia segera ke ruang bahan, menyusul bu Nana yang telah berada di sana. Bu Nana sibuk menimbang beberapa bahan, tepung mentega dan gula.


"Bu jumlah roti yang jatuh tadi 40 buah. Mari, Bu saya bantu mengadoni lagi, sepertinya waktunya cukup sampai jam 5 nanti" kata Tia.


"Ga perlu mengadoni lagi, itu ada cadangan adonan yang siap di bentuk di frezeer. Coba kamu keluarkan dan potong timbang segera, lalu isi dengan isian, mengenai isiannya apa, tanya Wati dan Ina, ya" jawab bu Nana, suaranya sudah lebih lunak.


"Siap, Bu" Tia agak lega karena ternyata ada cadangan adonan. Jadi bisa lebih cepat.


"Oiya tetap ingat kan perjanjian kita, gajimu terpaksa saya potong" Lanjut bu Nana. Seluruh pegawai di toko roti bu Nana memang terikat perjanjian bahwa apapun bentuk kejadian yang menyebabkan kerugian, maka bu Nana selaku pimpinan akan memotong gaji pegawai yang bersangkutan.


"Siap, Bu" kata Tia lagi, berusaha tegar, walau hatinya pilu.


"Kita Gerak cepat ya Tia, Bismillah roti siap jam 5 "


***

Tia duduk di tepi kasur, di kamar kosnya. Diluar jalanan kota telah benar-benar diselimuti gelap malam. Tia menghitung uangnya, ini baru awal pekan namun dompetnya telah menipis. Tadi siang, ia membayar uang kos yang telah menunggak 3 bulan.


Kayaknya dia akan gagal membayar cicilan uang SPP untuk semester ini. SPP seharusnya di bayar tunai di awal semester, namun khusus Tia, Tia boleh mencicilnya. Asal sebelum UAS sudah harus lunas.


Maunya ini tadi, Tia ingin minta pengertian lagi kepada ibu kos supaya pembayaran uang kosnya bisa ditunda lagi, namun ibu kos menolak. Ibu kos juga lagi bokek, kiriman anaknya agak berkurang. Konon anak ibu kos yang bekerja di sebuah restoran di ibu kota, sudah mengundurkan diri dari restoran itu, dan belum mendapatkan pekerjaan baru lagi. Jadi beberapa bulan ini tidak bisa mengirim uang kepada ibunya.


Tia mengalah, walau bagaimanapun dia telah menunggak 3 bulan. Selain itu dia sudah cukup beruntung mendapatkan kamar kos yang murah dan cukup dekat dari kampus dan toko roti bu Nana. Ibu kosnya juga baik.


Tia merenung, yang pasti gajinya yang sudah tidak terlalu besar,  minggu ini akan dipotong. Kemungkinan dia akan menerima separuh saja.


Tia berbaring, tak lama kemudian duduk. Lalu berbaring lagi. Galau akut melandanya. Mau menelepon bapak dan mamah di kampung, pasti akan membuat mereka lebih kepikiran lagi.


Keputusan kuliah ini adalah keputusannya. Meski bapak dan mamak sudah mengatakan tidak mampu membiayai. Namun Tia bersikeras.



bersambung

#onedayonepost
#cerbung











Comments