Cerpen : Benteng Di Jiwa Ayah

Sang surya semakin condong ke barat. Amir meringkuk dalam-dalam, seolah ingin melipat badannya sekecil mungkin agar cukup untuk bersembunyi di boks sampah yang kecil di sebelah Tempat Pembuangan Akhir di belakang sebuah perumahan kelas menengah di kota ini. Bunyi derap kaki orang-orang yang mengejarnya terdengar semakin mendekat.


"Kejar terus perampok itu," terdengar seorang berteriak. Amir menahan napas yang masih memburu, dipeluknya erat-erat tas ransel berisi lembaran merah bergambar Soekarno-Hatta. Entah berapa total jumlah semuanya.


"Kita harus berpencar, satu kelompok mencari kearah timur,  kelompok kedua mencari ke arah selatan dan yang lain ke barat. Pencuri itu licin sekali, bersembunyi dimana dia." Terdengar suara lain dengan nada kesal.


Beberapa saat kemudian, bunyi langkah-langkah itu menjauh. Lalu lama-lama senyap. Amir tetap bertahan merapatkan posisinya, ditepisnya aroma tak sedap yang mengoar dihidung.


Malam telah jauh beringsut. Entah berapa lama Amir meringkuk di boks sampah ini. Tadi, dua kali dia mendengar sayup-sayup suara adzan. Mungkin itu adzan magrib lalu isya'. Suasana hening. Dibukanya sedikit penutup boks sampah, sepasang matanya mengintai dengan awas keadaan diluar, "Hmm aman, sudah gelap dan sepi," batinnya.


Pelan-pelan Amir keluar dari persembunyiannya. Tas ransel yang penuh berisi uang dimasukkan dalam sebuah tas besar lusuh yang telah dipersiapkan dari rumah. Dia juga mengganti pakaiannya. Setenang mungkin dia berjalan pulang. Ada harapan baru terbit dihatinya. Tas ransel yang dibawanya memastikan itu.



******


"Assalamualaikum, Ayah.... Tika datang."  Suara salam Tika mengagetkan Amir yang sedang menyeduh kopi di dapur. Amir melirik jam dinding, jam 14.00. Tika memang biasa pulang sekolah sekitar jam segini.


" Waalaikumsalam, Ayah di dapur Tika," jawab Amir.


Mendengar suara Ayahnya, Tika menuju dapur, diraihnya tangan Ayah dan diciumnya khidmat.


"Ayah, maaf tadi pagi waktu mau berangkat sekolah, Tika nggak pamit ke Ayah," kata Tika. "Habis ayah nyenyak sekali, jadi Tika nggak tega mau bangunin, Semalam Ayah lembur lagi ya?"


"Eh...eh iyyy iya Ayah lembur. Nggak apa-apa Tika, seharusnya Ayah yang minta maaf soalnya nggak bisa bangun tadi pagi," jawab Amir sedikit gelagapan, lalu berjalan menuju ruang tengah. Tangannya memegang cangkir kopi.


Tika mengekori Ayahnya dan membuka jendela ruang tengah yang menghadap halaman samping. Hmm udara segar menyeruak berebutan masuk ke ruang tengah. Sepertinya Ayah baru bangun sampai-sampai jendela belum dibuka, pikir Tia. Rumah mereka adalah rumah tua peniggalan kakek Tia, ayahnya Amir. Bangunan rumah tak terlalu besar, ada halaman kecil di depan dan di samping rumah. Tia dan Amir menanam berbagai macam pohon disitu.


Amir duduk di kursi di ruang tengah dan mulai menghirup kopinya. "Gimana sekolah Tika hari ini? Ayah ada kabar bagus lho, Tika boleh melanjutkan ke SMP mana saja sesuai idaman Tika."


"Benar nih,Yah?...terimakasih,Ayah," mata Tika berbinar-binar dan memeluk ayahnya. Amir membalas pelukan Tika, dibelainya rambut putri semata wayang yang kini telah duduk di kelas 6 SD. Sejak kematian Nani, istrinya 4 tahun lalu, Tika adalah satu-satunya harta yang dimilikinya. Apapun akan dilakukan untuk kebahagiaan Tika.


"Ohya Yah, ada kabar menyedihkan dari sekolah Tika," kata Tika sambil melepas pelukannya dari Amir.


"Kabar apa?" Tanya Amir sambil menyalakan peaawat televisi tua di ujung ruang tengah.


"Itu Yah, bu Sita, guru Tika, kemarin dirampok di depan kantor Bank Raya. Sore itu, jam 15.30 bu Sita baru keluar dari Bank setelah mengambil uang milik sekolah,  belum sampai masuk ke mobil, tas bu Sita yang berisi uang 50 juta di rampas orang tak dikenal bertopi dan wajahnya ditutup masker flu. Sampai sekarang perampoknya belum tertangkap." Tika bercerita panjang lebar dengan wajah sedih.


"Padahal itu uang didapat dari para donatur dan orang tua asuh, rencananya akan dibagi kepada anak yang kurang mampu di sekolah kami, Tika dan 9 teman Tika yang lain termasuk dalam daftar yang akan mendapat uang itu sebagai bantuan untuk masuk SMP nanti,"
lanjut Tika.

Amir terkejut bukan kepalang. Diteguknya kopinya sekali lagi.


"Yah, Tika ke kamar dulu ya Yah, mau ganti baju," kata Tika, lalu beranjak menuju kamarnya.


"Iya, Sayang." Jawab Amir. Matanya nanar menatap tas lusuh yang teronggok dibawah dipan di kamarnya.


Sayup-sayup didengarnya berita televisi lokal yang melaporkan berita perampokan uang milik sekolah Tunas Bangsa yang terjadi kemarin sore. Pelakunya belum tertangkap sampai hari ini.



******



Senja itu,  lampu di lantai 2 kantor Bank Raya menyala, ada beberapa karyawan yang masih bekerja, mata mereka lengket pada layar komputer. Memang hari Jumat adalah hari tutup buku mingguan bagi kantor Bank. Setelah melewati pak Satpam yang sibuk menonton televisi, Amir tiba di ruang utama yang sudah sepi. Amir menuju meja yang bertuliskan Customer Service. Segera diletakkannya tas ransel yang telah membebani jiwa dan raganya dalam tiga hari ini. Diatas tas, dia tempelkan selembar kertas manila putih yang bertuliskan tangannya sendiri.


Maaf atas kelancangan saya membawa lari tas ini, kini saya kembalikan berikut isinya. Utuh tanpa kurang sepersen pun. Ohya tolong sampaikan juga maaf saya pada pihak Sekolah Tunas Bangsa.


Lalu Amir bergegas keluar dan menghilang di balik malam. Air matanya menggenang. Hatinya serasa lapang.


Tika kesayangan ayah, Ayah pasti akan membahagiakan Tika. Tika boleh menuntut ilmu setinggi yang Tika inginkan. Ayah akan membiayai dengan cara halal. Benar Ayah hanya pegawai rendahan di pabrik mi instan di ujung kota ini dengan gaji yang tidak besar, namun bukan alasan menghalalkan segala cara untuk mendapat uang. Ayah tak ingin menodai pendidikanmu dengan uang yang bukan hak kita.



***


Malang, 8 Januari 2017

Bunda Farhanah

Comments