Review Cerpen Pacarku Ada Lima Karya Dewi Lestari

Cerpen atau cerita pendek adalah salah satu karya sastra yang banyak diminati karena tak perlu waktu banyak untuk membacanya. Bisa dibilang membaca cerpen itu bisa dengan sekali duduk saja, sambil santai dirumah, di perjalanan bahkan ketika antri dokter, Bank dll.

Meski cerpen itu singkat, namun pembaca sudah bisa menangkap apa yang dimaksud penulis. Mulai dari alur sampai pesan yang ingin disampaikan.

Pada tulisan ini, saya ingin mereview cerpen berjudul Pacarku Ada Lima karya Dewi Lestari. Dewi Lestari adalah salah satu penulis wanita Indonesia terfavorit. Tulisan-tulisannya amboy cakep banget.


Review Cerpen berjudul Pacarku Ada Lima.


Membaca judul yang provokatif, jujur saya langsung berpikir bahwa cerpen ini akan menceritakan kisah seorang pria atau wanita yang memiliki lima orang kekasih dalam satu waktu dengan segala lika-liku dan pernak-perniknya.

Ternyata setelah membaca, cerpen ini tak sedikitpun menyuguhkan  kisah percintaan, apalagi problema seseorang dengan lima pacarnya.

Namun setelah membaca beberapa kali, baru saya menyimpulkan bahwa  sang tokoh "saya" dalam cerpen ini memang benar-benar memiliki lima pacar yang kelimanya ini selalu setia menemani sepanjang hidup.

Cerpen singkat yang penuh filosofi kehidupan.


Unsur Intrinsik

Tema: Kehidupan
Alur : Maju
Sudut pandang: pov satu
Latar belakang : Jl. Katamso Jakarta saat senja dan bubaran sekolah.
Gaya Bahasa: Penuh diksi.
Watak tokoh: Pemikir, perenung, cerdas.


Pesan yang ingin disampaikan: Bahwa dari setiap masalah yang dihadapi selalu ada hikmah yang bisa kita ambil untuk memperbaiki kualitas hidup.






PACARKU ADA LIMA
Dewi Lestari


Merayap pelan di Jalan Katamso, Jakarta, saat jam bubar sekolah merupakan pelatihan observasi yang baik. Seolah mengamati dunia dalam mikroskop, kecepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang berlubang, trotoar yang hancur, angkot yang mengulur waktu untuk menelan penumpang sebanyak-banyaknya, pedagang kaki lima yang bersesak memepet jalan aspal, dan manusia... lautan manusia.

Di balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling mendekati.

Banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi. Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.
***

Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta. Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan buah hatinya. Untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan. Cinta yang barangkali juga datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus berganti.

Langit senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang busuk dan menyebalkan, saya tahu kemurnian ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan dalam hidup. Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak: Langit senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan. Bergandengan tangan. Dalam kelima hal itu, ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak bersuaka.

Riak dan gelombang boleh turun dan pasang, pasangan saya boleh berganti, sehat-sakit-susah-senang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk tertawa lepas, untuk mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk merasakan hangat kulit manusia lain lewat genggaman. Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran pelik yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana. Sungguh saya tergoda berkata, kelima hal itu adalah kekasih saya sesungguhnya. Pacar-pacar gelap tapi tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan dunia materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan bubar sekolah di Jalan Katamso yang sempit tak mampu membendung cinta ini.

Comments

Post a Comment