#HariSantri2017 #ReviewKaryaSantri #SantriPenulis #EmakPenulis
Judul: Aku, Dia dan Rokok
Penulis: Tsurayya Maknun
Terbit: Radar Mojokerto (JP Group), 13 Januari 2012
Unsur Intrinsik:
Tema: Kehidupan
Alur: Maju
Sudut Pandang: Pov 1
Latar Belakang: Pondok Pesantren
Gaya Bahasa: Ringan, sehari-hari
Watah Tokoh: Introvert
Pesan yang ingin disampaikan: Merokok adalah kebiasaan yang buruk.
Tentang Tsurayya Maknun
Tsurayya lahir di Sampang, merupakan anak kedua dari pasangan Rusman Santoso dan Khodujah. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di kota kelahirannya itu. Menginjak sekolah menengah atas, Tsurayya meninggalkan kota kelahirannya untuk mesantren di MBI Amanatul Ummat Pacet Mojokerto yang diasuh KH. Asep.
Kini Tsurayya menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Tsurayya bisa dihubungi di FB dengan nama Tsurayya Maknun.
***
Untuk membaca cerpen dan tulisan lain dari Tsurayya kunjungi aja blognya di www.langkahindahku.com
Judul: Aku, Dia dan Rokok
Penulis: Tsurayya Maknun
Terbit: Radar Mojokerto (JP Group), 13 Januari 2012
Genre: Fiksi, Cerpen
Cerpen adalah salah satu karya sastra yang paling banyak diminati. Baik dari sisi penulis maupun pembaca karena menulis dan membacanya pun sama-sama tidak memerlukan waktu panjang. Bagi pembaca, cerpen bisa dijadikan teman setia pada saat menunggu, misal menunggu dokter atau menjemput anak sekolah. Yah daripada ngobrol ngalur ngidul atau bengong sendiri mending baca cerpen aja hehe.
Membaca cerpen Tsurayya ini, tak akan bisa berhenti sebelum berakhir. Memang cerpen ini sukses membuat saya penasaran bagaimana sih endingnya?
Meski di beberapa tempat, ada kalimat Tsurayya yang masih kurang efektif karena kebanjiran kata "aku", namun secara umum, sebagai pembaca saya puas dengan cerpen ini. Cukup menghibur, karena Tsurayya apik sekali merangkai kata, indah namun tetap logis dan tak bertele-tele. Selain itu pesan moral yang ingin disampaikan juga mudah ditangkap.
Tema: Kehidupan
Alur: Maju
Sudut Pandang: Pov 1
Latar Belakang: Pondok Pesantren
Gaya Bahasa: Ringan, sehari-hari
Watah Tokoh: Introvert
Pesan yang ingin disampaikan: Merokok adalah kebiasaan yang buruk.
Tentang Tsurayya Maknun
Tsurayya lahir di Sampang, merupakan anak kedua dari pasangan Rusman Santoso dan Khodujah. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di kota kelahirannya itu. Menginjak sekolah menengah atas, Tsurayya meninggalkan kota kelahirannya untuk mesantren di MBI Amanatul Ummat Pacet Mojokerto yang diasuh KH. Asep.
Kini Tsurayya menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Tsurayya bisa dihubungi di FB dengan nama Tsurayya Maknun.
***
Aku, Dia dan Rokok
Tsurayya Maknun
Di tempat
suci ini, kubulatkan tekat untuk bertaubat. Jauh dari keramaian kota, tenang
tanpa polusi. Bahkan tempat ini terletak di perut gunung. Sepanjang mata
memandang, semua motif alam berwarna hijau. Hutan, sawah, terasiring yang berundak
– undak, indah sekali. Tak hanya bibir, mataku pun turut tersenyum ketika
memandangnya.
29
Juni 2011 awal di mana aku menginjakkan kaki di sini. Tak seorangpun aku kenal.
Semua serba baru. Tidak ada teman yang berasal dari SMP yang sama. Sekalipun, tak
ada yang satu kota denganku. Senang juga bisa berkenalan dengan teman – teman
baru dari berbagai daerah. Satu hal yang jadi kendalaku. Aku tak bisa
menggunakan bahasa daerah tempat ini. Memang, daerahku cukup jauh. Perjalananku
tak hanya menempuh jarak, tapi juga budaya dan bahasa.
Aku
merasa fine di sini. Tak settik air
matapun menetes di mataku. Risih dan jengah rasanya mendengar teman – temanku
berkata “Aku gak kerasan” atau “Aku kangen mama”. Apalagi ketika melihat salah
satu dari temanku menangis hanya karena jauh dari orangtua. Dasar manja. Aku
bisa tertawa di saat yang lain menangis. Tapi itu hanya awal. Malam ini aku
menangis. Entah apa yang kutangisi. Mungkin ini yang dirasakan teman – temanku
saat pertama kali di sini. Itulah air mata pertama dan terakhirku. Aku berjanji
tidak akan lagi menangis untuk apapun. Karena bagiku air mata itu mahal dan
gengsi.
Kukira
hidup jauh dari orangtua itu enak. Bebas melakukan apa saja yang kita mau. Tak
ada lagi ocehan panjang lebar dari ayah – bunda. Tidak perlu berdebat karena
beda pendapat dengan ortu. Tapi semua salah. Memang jauh dari orangtua itu
bebas. Ibarat bebas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Ternyata lebih
rumit dari yang kukira. Inilah hidup yang sesungguhnya. Harus menyelesaikan dan
menghadapi masalah dengan diri sendiri.
Aku
kurang suka dengan yang namanya curhat. Kepribadianku memang introvert. kedengarannya ironis, di
sebuah pondok pesantren yang harusnya tiap individu memiliki jiwa sosial yang
tinggi. Tapi inilah aku. Sudah kucoba untuk membuka diri, tapi bullshit.
***
Aku
terbangun, 2 jam sebelumnya adalah 22.00. Perlahan, aku mulai menyatukan
kembali jiwa dan ragaku. Kulihat sekitar, teman – teman sekamar sudah tidur. Aku
meraih tasku dan mengambil posisi di balik pintu. Kuraba – raba isi tasku. Aku
sedang mencari benda berbentuk kotak putih dan sebuah batang yang dapat
mnghasilkan api.
“Srrrt….pffuhhh…”
Satu
hisapan dan satu hembusan. Enjoy
sekali rasanya. Kulanjutkan menghisap dan menghembuskan asap pada benda itu hingga
habis sebatang. Kurang puas, kulanjutkan dengan batang – batang yang lain. Sebenarnya
tak ada keinginan untuk kembali pada kebiasaan lamaku yang buruk ini. Tapi tak
ada lagi plihan bagiku. Aku tidak menemukan teman yang cocok. Semua sama saja, munafik!
Manis di depanku, menusuk dari belakang. Seorangpun, tak ada yang mengerti aku.
Meski telah lama mengenal namaku, mereka tak mengenal hatiku. Satu
kesimpulanku, teman terbaikku sejak dulu : rokok.
“Uhuk,uhuk….”
Salah
satu dari temanku yang tidur tebatuk – batuk. Akhirnya aku menyudahi rokokku. Tidak
enak hati rasanya jika samapai membuatnya sampai terganggu karena asap
buatanku. Kubersihkan semua sisa batang hisapanku yang telah menghitam
ujungnya. Aku tak ingin meninggalkn jejak sedikitpun.
Pukul
00.00, aku menuju lantai tiga gedung asrama. Memojokkan diri dan mulai
melakukan ritualku seperti biasanya. Setelah 2 batang rokok habis, kudengar
langkah kaki manusia yang sepertinya menuju ruangan ini. Aku terkesiap mencoba
menutupi semuanya.
“Dik,kamu
ngapain di sini?”
“Eh,…Belajar.”
Ternyata
bagian keamanan asrama. Untungnya tiap kali akan merokok, aku selalu membawa
tas sebagai cover.
“Sebaiknya
sudahi dulu, sudah malam. Silahkan kembali ke kamarmu dan istirahatlah.”
“Baiklah,
terima kasih.”
Rapi
sekali. Tak seorangpun tahu aku seorang perokok. Siapa sangka, seorang gadis
pendiam, kalem, dan terlihat selalu tenang, ternyata seorang pelaku kenakalan
remaja. Apalagi kasusnya di dalam sebuah pondok pesantren.
***
Aku
selalu berpikir di mana tempat yang pas untuk merokok. Tempat yang sekiranya
tidak menggangu dan tak diketahui oleh siapapun. Aku memandang lurus dari
jendela lantai tiga. Pandanganku kosong. Butuh beberapa menit menyadari ke mana
arah mataku. Saat sadar akan pandanganku, aku tersenyum melihat bangunan tua
yang terletak tiga meter dari tempatku berdiri.
“Good idea”, gumamku.
***
Seperti
biasa, aku tidur lebih awal dari teman – temanku. Lalu bangun pada pukul 00.00.
Sesuai rencana tadi pagi, aku akan merokok di gubuk itu. Sebenarnya bukan
gubuk, melainkan gudang tempat penyimpanan barang – barang bekas milik alumni. Tapi
jika melihat penampilannya yang menjenuhkan mata, pantaslah kusebut gubuk.
Suasananya
gelap, dan lebih menyeramkan pada malam
hari. Masa bodoh, aku hanya ingin melepas rasa stresku. Kuambil sebatang rokok
dari tasku, kusulut dan kuhisap perlahan. Gerah sekali gubuk ini, aku pun
mencopot kerudungku.
Aku
menikmati setiap hisapan dan hembusan ini. Sesekali kucoba menghembuskan
melalui hidung. Ada satu hal yang baru kusadari. Di seberang sana, jarak yang
tak terlalu jauh. Aku melihat cahaya merah dalam gelapnya gubuk ini. Kurasa itu
adalah kepala rokok. Berarti ada juga yang merokok di sini.
“Hey”
Dia
mencoba menegurku. Mungkin dia juga menyadari keberadaanku di sini sedari tadi.
Telingaku mendengar suara itu. Seperti suara putra. Dengan kegopohanku, aku
memasang kembali jilbab yang sempat kucopot. Aku sendiri tak tahu maksud dari
sikap reflekku tadi. Aku baru mengenal kerudung di sini. Mungkin aku
terpengaruh lingkungan. Putri – putri di sini selalu menjaga kerudungnya di
manapun, apalagi di depan laki – laki.
“Apaan?”
“Ngapain
kamu di sini?”
“Jelas
– jelas udah tahu aku di sini ngerokok”
Dasar
pertanyaan aneh. Untung saja dia tidak melihat aksiku tadi. Maksudku,tak bisa
melihat dengan jelas. Hanya ada api rokok.
“Cuma
nanya. Emang sejak kapan kamu ngerokok?”
“SMP”
Aku
menjawabnya dengan singkat. Kami kembali pada aktifitas masing – masing.
“Kelas
berapa kamu, Dik?"
“Satu,
kamu?”
“Kelas
tiga.”
“Oh,
pantesan langsung manggil aku adik.”
Meski
tak bisa kulihat jelas, aku mengerti bahwa dia sedang mengakomodasikan matanya
untuk memperhatikanku.
“Gila
ya, seorang cewek, baru kelas satu udah ngerokok, di gudang ini pula, keren!
Berani banget!”
“Terus?
Terserah, kamu mau anggep aku cewek…apalah terserah!”
Kuraba
kotak rokokku,kosong. Sampai – sampai aku menunang – nuang kotak itu, tapi
hasilnya nihil. Aku kehabisan rokok.
“Sial”
“Kenapa?
Kehabisan rokok?”
“Kok
tahu?”
Mengapa
dia bisa tahu sedetail itu? Mungkinkah kakak kelasku itu memperhatikan tiap
gerikku? Kakak itu mengambil sekali hisapan lalu menjawabku.
“Kita
sama – sama perokok, jadi apa sih yang gak ngerti?”
“Kamu
pake rokok apa?”, Dia lanjut bertanya
“Mild”
“Pake
aja dulu rokokku, aku pake Magnum Filter”
Dia
menyodorkan sekotak rokok yang telah separuh isinya.
“Benaran
gak papa?”
“Udah
ambil aja”
Meski
ragu, kucoba tuk menghisap si Magnum Filter. Yang membuatku canggung, aku belum
pernah mencoba merk ini.
“Gimana?”
Pertanyaan
itu tak kujawab. Aku menyimbolkan kata “oke” dengan mengacungkan tinggi –
tinggi rokok pemberiannya. Tawa kami pun meledak bersama.
“Dik?”
Kakak
itu menegurku setelah kami hening beberapa saat pasca tertawa bersama.
“Hah?”
“Kalo
boleh tahu, siapa namamu?”
Aku
kaget bukan main. Sampai – sampai aku menahan asap yang akan keluar dari
mulutku.
“Uhuk…”
Aku
terbatuk singkat karena menahan asap yang harusnya kuhembuskan.
“Untuk
apa kamu tahu namaku?”
“Ya,
cuma tanya”
“Kamu
gak perlu tahu namaku. Aku gak mau cari masalah. Lagipula aku ke sini cuma mau
ngerokok, gak ada tujuan lain”
“Oke,
aku bisa ngerti”
Kami
kembali hening seperti posisi awal, sibuk dengan rokok masing – masing. Hingga
akhirnya ku telah mengahabiskan seluruh isi kotak yang diberikan kakak itu. Tak
nyaman rasanya jika aku harus meminta lagi. Kulirik jam di pergelanagan
tanganku.ternyata sudah jam 2 pagi. Lebih baik aku kembali ke asrama.
Aku
membereskan sisa – sisa rokokku. Kumasukkan sampah rokok itu ke dalam tas. Tetap
dengan alasan yang sama, aku tidak ingin meninggalkan jejak. Ketika aku mulai
beranjak,
“Mau
ke mana?”
“Mau
balik, udah jam 2”
“Oh,
Ya sudah”
***
Aku
tetap mengikuti solat malam, juga kewajiban dan peraturan yang lain. Hingga
saat ini belum satupun yang tahu aku sering merokok. Aku selalu menyimpannya
dengan rapi. Gubuk itu, sudah menjadi rumah keduaku. Hampir setiap tengah malam
aku menuju bangunan yang jarang terjamah orang lain.
Malam
demi malam, aku melampiaskan rasa jenuh di gubuk itu. Dan tetap saja, kakak itu
juga istiqamah merokok di sana. Sering juga kami tertawa bersama. Ada saja yang menjadi pembicaraan antar sesama
perokok. Kami saling kenal, tanpa saling tahu nama masing – masing.
***
Minggu
malam, ketika sedang
bersalawat atas Nabi ada kejadian yang menghebohkan. Saat para penghuni
pesantren berada di aula lantai tiga, kami mengalami kecelakaan. Awalnya, aku
hanya melihat cahaya merah dari jendela. Cahaya itu berasal dari sebrang sana,
gubuk itu. Sedetik kemudian, cahaya itu melebar dan melahap basecampku. Bahkan pohon besar di
sampingnya turut jadi korban. Seketika
itu pun, kami mengalihkan perhatian pada kebakaran itu. Acara shalawatan bubar
tidak pada waktunya.
“Aaaaa……!”
Teman
– teman reflek menjerit karena mati
lampu. Listrik sengaja dipadamkan untuk menghindari korsleting. Tentu agar
kebakaran tak semakin merambat. Ustad dan santri putra bahu – membahu berusaha
memadamkan jilatan api itu. Kami para santri putri menuju lantai dasar, karena
merasa takut dengan padamnya listrik dan kebakaran ini.
Dari
sini, aku melihat dengan jelas tempat yang biasa kugunakan sebagai basecamp perlahan mulai rapuh.
Sebenarnya, aku menangis dalam hati. Tak ada lagi tempatku melepas rasa stress,
ataupun berbagi dengan kakak itu. Aku tak tahu lagi tempat yang nyaman selain
gubuk itu. Rasanya, aku lah yang paling kehilangan atas kebakaran itu.
Kakak
itu, apa dia juga mersakan hal yang sama? Kurasa dia juga kehilangan. Kita tak
akan bertemu lagi. Aku kenal, tanpa tahu namanya. Entah, apa yang harus
kulakukan selanjutnya.
“Shallu
Alan Nabi Muhammad”
Seruan
itu sebagai simbol bahwa kami diperintah untuk kembali bershalawat. Api telah
berhasil dijinakkan. Tapi gubuk itu, hanya tinggal kerangka. Mungkin inilah
yang disebut teguran dari Allah. Aku telah mengecewakanNya. Aku telah
berkhianat pada Nabi, juga seluruh isi pesantren ini. Ternyata rokok hanya
bahagia sesaat, dia sumber petaka yang abadi. Ustad bilang, kebakaran itu
disebabkan punting rokok yang masih menyala. Apa karena aku, atau kakak itu?
Sebaiknya
aku berubah sebelum semua tahu aku turut mengambil peran dalam penyebab
kebakaran itu. Meski tak hanya aku, tapi juga kakak itu. Aku ingin berhenti merokok,
tapi bagaimana bisa? Sedangkan rokok telah menjadi candu bagiku. Aku ingin
membuang jauh – jauh kisah tentang aku, dia (kakak), dan rokok.
Terbit di Radar Mojokerto (13
Januari 2012)
***
Untuk membaca cerpen dan tulisan lain dari Tsurayya kunjungi aja blognya di www.langkahindahku.com
Comments
Post a Comment