KH. Husein Muhammad dan Pembacaan Ulang Terhadap Ayat-ayat Kesetaraan Gender

Secara fisik, saya belum pernah berjumpa dengan al-Mukarram KH. Husein Muhammad. Tapi secara pemikiran, saya merasa mengenal Ulama kelahiran Cirebon itu secara dekat. Kenalnya tak lain melalui sebuah buku karya Buya yang saya temukan di rak milik orangtua dan saya langsung dejavu dengan pemikiran-pemikiran beliau. Lalu sejak itu saya menjadi pembaca setia artikel-artikel Buya Husein di blog pribadinya maupun di Facebook. Mungkin ini yang disebut sebagai kekuatan tulisan yaitu bisa menembus ruang, waktu serta jutaan kepala secara bersamaan. Saya berharap, semoga suatu saat bisa bertemu dengan Buya.

Buya Husein dikenal sebagai ulama yang memiliki pemikiran kritis dan concern terhadap masalah hak-hak perempuan. Sejak masih muda, Buya konsisten membela kesetaraan/kesalingan hak antara perempuan dan laki-laki. Puluhan buku dan artikel tentang perempuan dan kesetaraan telah lahir dari hasil pemikirannya. Salah satu yang best seller adalah: Fiqih Perempuan, Refleksi Kyai atas Tafsir Wacana dan Gender. Dan menulis tentang kesetaraan gender, yang dalam dunia barat disebut gerakan feminis, bukanlah tak beresiko. Buya sempat dituduh sebagai antek barat dan Yahudi.

Islam sebagai Rahmatan Lil alamin adalah rahmat bagi semua makhluk di alam raya ini termasuk tehadap perempuan. Sejatinya inilah yang ingin Buya suarakan. Bahwa Islam datang untuk memanusiakan manusia tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan.

Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang secara eksplisit  menegaskan tentang kesetaraan manusia, laki-laki dan perempuan, dan perlunya kerjasama antara laki-lak dan perempuan untuk mendirikan prinsip kemanusiaan dalam Islam yang disebut takwa.

Dua diantaranya yang paling populer dan banyak dikutip adalah;


"Wahai sekalian manusia, Kami ciptakan kamu, laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antar kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Tahu dan Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat:13).


"Orang-orang yang beriman, Laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain (bekerja sama). Hendaklah mereka, laki-laki dan perempuan, saling bekerja sama untuk menyerukan kebaikan dan menolak keburukan. mereka mendirikan salat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasulnya.Kepada mereka, Allah akan memberikan kasih sayang-Nya. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS: At-Taubah: 71).


Namun pada praktiknya, entah karena budaya patriarki yang masih kuat atau untuk tujuan politik dan kekuasaan, sepanjang sejarah kehidupan manusia, seringkali kaum perempuan menjadi kelompok yang terpinggirkan. Seringkali, dalam realita kehidupan sehari-hari, kita masih melihat banyak kaum perempuan belum mendapatkan kemerdekaan sejati sebagaimana yang didapat laki-laki.

Berbeda dengan tokoh feminis lainnya, terutama feminis barat yang jelas sekuler, Buya Husein memperjuangkan kesetaraan gender dengan berpijak pada Al-Quran, hadits serta ijtihad ulama salafussalih. Ini yang membuat perjuangan Buya Husein tampak berbeda dan terlihat jelas arahnya yaitu menuju Islam yang penuh rahmat baik bagi laki-laki dan perempuan.

Buya Husein, dengan ilmu yang mumpuni baik dalam membaca kitab kuning serta tafsir Al-Quran dan hadits, melakukan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat Al-Quran maupun hadits yang telah jelas-jelas menyuarakan kesetaraan gender. Tak hanya itu, Buya juga melakukan pembacaan ulang yang intensif dengan riset mendalam terhadap ayat-ayat atau hadits yang sering ditafsirkan secara bias dan  dijadikan justifikasi ketidaksetaraan gender oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan tertentu seperti adat, politik dan kekuasaan. Dan hasilnya adalah sebuah pemikiran yang berbeda, mencengangkan meski juga memantik kontroversi.
 
Kenapa disebut dengan pembacaan ulang? Tentu karena merujuk pada masa awal kedatangannya, sebagai agama rahmatan lil alamin Islam benar-benar memuliakan perempuan dan mengangkatnya pada derajat yang sama sebagaimana laki-laki.

Sejarah mencatat, praktik menjadikan kaum perempuan sebagai manusia "kelas dua" pada masa sebelum datangnya Islam sangat marak. Tidak hanya dalam tradisi Arab jahiliyah, namun merata hampir di semua belahan bumi. Di Persia dan Romawi juga demikian.   Lalu Islam datang memuliakan perempuan dengan semestinya. Pada masa awal Islam, banyak kaum perempuan yang berdedikasi pada bidangnya masing-masing. Aisyah dan Ummu Salamah Ummul Mukminin, adalah perempuan cerdas yang menjadi guru bagi banyak perempuan dan laki-laki. Ketika dalam peperangan bersama Nabi pun, banyak kaum perempuan ikut serta dan aktif ambil bagian, ada yang bertugas menyuplai bahan makanan, membawa obat-obatan atau menyediakan anak panah. Tapi pada perjalanannya, kenyataan bahwa perempuan di berbagai wilayah Islam dalam perkembangannya  menunjukkan arah mundur ke belakang, lebih karena pengaruh kebudayaan masyarakat feodalistik dan bukan karena kehendak Islam. 

Jadi sesungguhnya pemikiran yang disampaikan Buya bukan hal baru yang tabu dan berasal dari luar  Islam. Saya tulis contoh terhadap pembacaan ulang pada ayat Ar-Rum ayat 21. Tentang pernikahan yang sakinah itu seharusnya oleh dan untuk siapa, sih?

Ayat Ar-Rum 21 ini sangat populer karena (hampir) selalu dicantumkan dalam undangan pernikahan. Saya copas Arab  dan terjemahannya di sini.


 وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

Terjemah di atas adalah terjemahan metode pertama dan telah lazim diketahui khalayak. Dari terjemahan ini mengantarkan kesimpulan bahwa sakinah dalam sebuah pernikahan adalah untuk suami yang harus dilakukan istri.


Sekarang mari lihat penerjemahan metode kedua yang dilihat dari struktur tata bahasa arab (saya sendiri juga tidak paham bahasa arab, sih).  Dijelaskan bahwa bahasa Arab itu dibangun dengan sistem perbedaan jenis kelamin/gender yang ketat. Semua kosakata dalam bahasa Arab langsung ditempeli dengan jenis kelamin baik itu kata kerja, kata benda, kata sifat, kata sambung, sampai kata tunjuk. Contohnya saya ambil yang sudah populer:  jamil-jamilah untuk kata sifat, mukminin-mukminat untuk kata benda, hadza-hadzihi untuk kata tunjuk. (yang fasih bahasa arab, tambahin donk). Oleh karena itu dalam bahasa Arab, semua kosakatanya mustahil lepas dari  "ketempelan" jenis kelamin/gender.

Satu lagi, kaidah baku lain yang menarik dalam bahasa arab adalah kosakata untuk kelompok laki-laki (atau yang disebut dengan jamak mudzakar) bisa hanya untuk laki-laki tapi bisa juga untuk laki-laki dan perempuan. Bukankah banyak ayat dalam Al-Quran yang berisi perintah salat, puasa, zakat dan haji menggunakan jamak mudzakar ini? Tapi tak ada satu pun ulama yang mengartikan bahwa perintah salat, zakat, puasa dan haji itu hanya untuk laki-laki.

 Maka berdasar hal tersebut, ayat Ar-Rum ayat 21 dapat dibaca sebagai berikut
 
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian (laki-laki dan perempuan) pasangan (suami atau istri) dari jenis kalian sendiri, supaya kalian (laki-laki dan perempuan) cenderung dan merasa tenteram kepadanya (suami atau istri) dan dijadikan-Nya diantara kalian (laki-laki dan perempuan) rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

Dari penerjemahan metode kedua ini, mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa sakinah dalam pernikahan harus diusahakan oleh kedua pihak (suami dan istri) dan untuk kedua pihak (suami dan istri) dengan kesalingan yang menghargai-dihargai dan  mencintai- dicintai. Bukankah ini adalah sebuah pemikiran yang memuliakan perempuan sesuai fitrahnya?

Itulah sedikit pemahaman yang bisa  saya tangkap dari sekian banyak taburan ilmu yang terdapat dalam berbagai tulisan Buya Husein tentang hak-hak perempuan. Karena konsistensinya dalam usaha kesetaraan gender ini, Buya mendapat anugerah luar biasa berupa Doktor Honoris Causa dari UIN Walisongo Semarang yang akan disematkan besok, tanggal 26 Maret 2019.

Sebagai murid jauhnya Njenengan, saya turut bangga, Buya. Semoga apa yang telah Buya upayakan mendatangkan manfaat bagi kaum perempuan khususnya dan umat Islam umumnya serta tercatat sebagai amal jariyah.




Malang, 25 Maret 2019


Nazlah Hasni
Ibu Rumah Tangga dengan empat anak

Referensi: https://tafsirweb.com/7385-surat-ar-rum-ayat-21.html
مِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/7385-surat-ar-rum-ayat-21.html

Comments

  1. Wah, luar biasa ya. Jadi penasaran dengan tulisan Buya Husein.

    ReplyDelete

Post a Comment