Sebuah Kemunduran Peradaban, Renungan Terhadap Disertasi Milk Al-Yamin

Kehebohan Disertasi Mahasiswa S3 UIN Kalijaga itu memang sudah mereda. Abdul Azis, penulis Disertasi kontreversial itu sudah menyatakan maaf secara tertulis. Ia berjanji akan melakukan revisi serta mengubah judul dari Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital menjadi Problematika Konsep Milk Al-Yamin Dalam Pemikiran Muhammad Syahrur

Dalam kasus ini, saya bersyukur karena MUI telah merespon dengan cepat. Sehingga pemikiran ini dapat segera diluruskan karena tidak sesuai dengan syariat Islam. 

Namun meski sudah mereda, kasus ini meninggalkan dua pertanyaan besar (terutama bagi saya pribadi) yang akan Saya tulis di artikel ini, sebagai pengingat diri. Oiya, sebelumnya Saya ingatkan lagi pada pembaca tulisan ini, bahwa saya hanyalah Ibu Rumah Tangga yang suka membaca. Jadi jangan berekspektasi terlalu tinggi terhadap seseemak ini :D. 

Oke saya lanjutkan. Dua pertanyaan itu adalah:

1. Kenapa Disertasi kontroversial tersebut bisa sampai melaju sampai pada tahap Ujian Terbuka?

Antara tahun 2010-2012, Saya mendampingi almarhumah Ibu yang mengambil program Doktoral. Saya tahu bagaimana berlapisnya tahap yang harus dilalui agar sebuah proposal Disertasi bisa disetujui. 
Ini baru proposal. Belum lagi konten (isi) Disertasinya, lebih berlapis lagi tahap yang harus dilewati supaya benar-benar bisa lulus. 
Ketika semua lapisan itu sudah berhasil terlewati, maka seharusnya ujian terbuka hanyalah seremonial belaka. Ujian itu akan diakhiri dengan Tasyakuran, makan-makan dan semacamnya. Karena sudah pasti lulus.

Apakah sedemikian liberalkah kultur akademik UIN Kalijaga, sehingga mengamini Disertasi tentang pemikiran halalnya seks di luar pernikahan?

Jangankan karya tulis semacam Disertasi, lha wong tulisan fiksi seperti cerpen, cernak atau novel, sebelum mendapat stempel layak terbit harus mampir dulu di meja editor untuk di obrak-abrik. Mulai dari ide atau tema:  bagaimana keorisinilan, bobot atau kualitas dan nilai jualnya? Lalu pilihan kata atau diksinya, enak dibaca kah? atau mbulet kah? Serta sesuaikah penggunaan ejaan dengan ketentuan berlaku.

Semua akan diperiksa satu persatu. Bila lulus di tema maka perjalanan masih panjang. Bisa jadi naskah akan dikembalikan lagi ke penulisnya untuk direvisi, diperiksa lagi oleh editor, direvisi lagi oleh penulis, begitu seterusnya sampai sebuah naskah benar-benar fix dan layak terbit. 

Pengalaman saya, ketika menulis buku cerita anak berjudul 20 Kisah Hebat Hewan Langka di Dunia yang diterbitkan di Elexmedia Komputindo (Grup Gramedia) 2018 yang lalu, membutuhkan waktu kurang lebih setahun. Dengan tahapan serupa dengan yang telah saya sebut di atas.


2. Bukankah mengusung kembali Konsep Milk Al Yamin sebagai justifikasi keabsahan seks di luar nikah (nonmarital) adalah sebuah kemunduran peradaban?

Saya coba mencari tahu, apa sih Milk Al-Yamin itu? Setelah riset sana-sini, dapat disimpulkan (tolong dikoreksi bila salah) bahwa  Milk Al-Yamin adalah berkaitan dengan perbudakan. 

Saya juga mencoba meninjau lagi apa itu budak dan perbudakan. Di kamus, budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang manusia lain (yang disebut tuan), tidak memiliki upah, tidak pula memiliki Hak Asasi Manusia. Istilahnya, budak adalah orang yang tak memiliki hak dan kemerdekaan sedikit pun atas dirinya sendiri. 

Sedangkan perbudakan adalah suatu kondisi terjadinya pengontrolan terhadap seseorang oleh orang lain (tuannya). Budak melakukan apa saja yang diperintah tuannya, termasuk melayani dalam hal seks. Bila tuannya sudah tidak suka, Budak tersebut bisa diperjualbelikan layaknya barang dagangan.

Budak dan perbudakan adalah peradaban lampau. Sangat marak sejak jauh sebelum Masehi. Prakteknya merata hampir di semua peradaban kala itu. Mulai dari Yunani, Romawi, Persia, Arab jahiliyah, Mesopotamia dsb. 
Masih ingat sejarah Nabi Ibrahim yang menikahi Ibu Hajar? Konon Ibu Hajar adalah budak Nabi Ibrahim dan Ibu Sarah. 
Juga kisah Nabi Yusuf kecil yang ditemukan di dalam sumur oleh sebuah kafilah dagang lalu dijual sebagai budak ke seorang Petinggi Mesir. 
Kedua kisah di atas terjadi sebelum Masehi.

Ketika Rasulullah dan Islam datang pun, bahkan sampai pada masa kekhalifahan Islam, budak dan perbudakan masih marak saat itu.
Maka dari itu, dapat dimaklumi jika ada beberapa ayat Al-Quran yang menghalalkan seorang tuan menggauli budaknya. Kan memang dilihat dari masa dan sebab (Asbabun Nuzul) turunnya ayat di tengah-tengah masyarakat yang masih ada perbudakan.

Namun sedikit demi sedikit, Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam, menghapus perbudakan. Ini dapat diketahui dari banyaknya syarat berupa membebaskan/memerdekakan budak untuk sebuah pelanggaran syariat tertentu.

Untuk zaman now, yang mana budak dan perbudakan sudah dihapus, masih relevankah konsep Milk Al-Yamin tesebut digunakan? Bukankah kita seharusnya semakin memanusiakan manusia?

Logika sederhananya, maukah kita sebagai manusia yang merdeka dan sudah dimuliakan harkat dan martabatnya dengan ajaran agama yang fitrah, kembali pada peradaban budak dan perbudakan seperti di zaman jahiliyah? 

Malang, 6 September 2019.
roblematika Konsep Milk al-Yamin Dalam Pemikiran Muhammad Syahrur'.

Baca selengkapnya di artikel "Abdul Aziz Minta Maaf & Ubah Isi Disertasi Hubungan Seks Nonnikah", https://tirto.id/ehtv
Problematika Konsep Milk al-Yamin Dalam Pemikiran Muhammad Syahrur'.

Baca selengkapnya di artikel "Abdul Aziz Minta Maaf & Ubah Isi Disertasi Hubungan Seks Nonnikah", https://tirto.id/ehtv

Comments

  1. Saya semlengeren menghadapi berita ini. Ulasan di atas mewakili apa yang saya rasakan tetapi tidak bisa saya ungkapkan. Terimakasih

    ReplyDelete

Post a Comment