Mengenal Sorogan dan Bandongan, Metode Ngaji Ala Pesantren yang Semakin Diminati Masyarakat

Salam Pembaca yang Budiman.

Alhamdulillah kita masih bertemu Ramadhan yang mulia, walau pada tahun ini, suasananya agak berbeda dari sebelum-sebelumnya karena kita berada dalam suasana pandemi Covid-19. Semua kegiatan termasuk ibadah dilaksanakan dari atau di rumah. Bekerja dari rumah, belanja dari rumah, tarawih di rumah, ndaras di rumah sampai-sampai taklim pun dari rumah. Untungnya, pandemi ini terjadi pada zaman ketika kecanggihan teknologi sangat mendukung kegiatan-kegiatan dari atau di rumah saja. Termasuk kegiatan ngaji atau taklim yang tetap bisa dilakukan, walau secara online, dengan live streaming melalui Youtube, Facebook, Instagram maupun Zoom. 

Senyampang  Ramadhan, dalam tulisan ini saya ingin membahas sorogan dan bandongan. Kedua hal ini adalah metode belajar yang tidak asing di dunia pesantren. Pada dasarnya, sorogan dan bandongan adalah sama. Yaitu belajar ilmu-ilmu agama yang mana ada seorang guru dan murid yang masing-masing memegang kitab (yang sama). Sang guru mengkaji isi kitab, membacakan dan mengupas maknanya sedangkan santri mendengar, menyimak dan mencatat. Bedanya, bila sorogan, jumlah santri hanya 1-10, dan ada sesi di mana santri maju satu per satu menghadap ustadz untuk membaca kitab. Jumlah santri di sorogan jauh lebih sedikit dari bandongan yang jumlahnya hingga 500 santri (biasanya dilaksanakan di masjid pesantren dan dilakukan dalam kajian kitab rutin mingguan, dua minggu hingga sebulan sekali).

Ngaji model ini tidak sama dengan ceramah umum, tabligh akbar, tausiah yang biasanya tematik/mengangkat tema tertentu (terkadang sesuai permintaan jamaah) karena ngaji ini fokus menelaah satu kitab. Huruf per huruf dikupas, kalimat per kalimat dimaknai, lembar per lembar dikaji sampai lembar terakhir alias khatam, sehingga menuntut penerapan semua ilmu. Mulai dari nahwu (gramatika), shorof (linguistik), balaghoh (sastra) hingga pemahaman hadist, tafsir, tarikh (sejarah) dan seterusnya. Jika satu kitab telah khatam, akan berlanjut menelaah kitab berikutnya. Maka guru (Kyai atau ustad) pengampu ngaji model ini haruslah seorang mumpuni dengan keilmuan yang menyeluruh. 

Kitab yang dikaji, bisa bermacam-macam, karena fan-fan (cabang) ilmu agama itu banyak. Yaitu Aqidah, Adab, Fikih, Hadist, Tafsir (Al-Qur'an), Sejarah, Tasawuf dll. 

Pemilihan kitab dari sisi penulis/muallifnya juga tak lepas untuk dipertimbangkan. Kitab sebenarnya sama dengan buku, tapi dalam dunia Islam kitab memiliki makna yang lebih tinggi dari buku. Penulis kitab haruslah seorang ulama atau Imam yang alim-allamah, waro', hafal hadist, hafal Al-Quran, sanad keilmuan yang sampai pada Rasulullah, akhlaknya mulia, dermawan dan sifat-sifat mulia lainnya. 

Biasanya, setelah pemantapan di Aqidah dan Adab/akhlak, mula-mula santri akan belajar fikih. Fikih adalah ilmu yang mempelajari tentang tata-cara beribadah. Bagaimana bersuci (berwudhu, tayamum, mandi besar), salat, puasa, haji, zakat, munakahat (pernikahan), perniagaan dll.

Salah satu kitab fikih puaaaling dasar yang umum dikaji di awal masa belajar adalah Kitab Safinatun Najah-nya Syaikh Salim. Beliau adalah ulama yang alim dari Hadramaut Yaman. Saya jadi ingat, dulu saya juga mengkhatamkan kitab ini. Bahkan oleh Umi saya, dipaksa mengkhatamkannya lagi dan lagi. Habis khatam, balik lagi dari awal. Ingin nerapkan juga pada anak-anak saya, tapi tentunya dengan guru karena saya nggak bisa baca kitab. 

Baru setelah mengkaji kitab fikih dasar ini, seorang santri akan lanjut pada ngaji kitab fikih lanjutan maupun kitab-kitab dari fan-fan ilmu lainnya misal hadist, tafsir, tasawuf dan seterusnya.

Ulama-ulama terdahulu mewariskan buanyak sekali kitab yang sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Di ilmu hadist, tampil Imam yang enam pada abad 2-3 H yang mana kitab hadist yang mereka tulis menjadi rujukan hingga kini. Yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam Tirmidzi, Imam Nasa'i, Imam Abi Dawud. Tidak cukup di yang enam itu. Ada banyak ulama atau Imam lainnya yang menulis kitab hadist yang juga dijadikan rujukan di dunia Islam. Salah satunya adalah Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dari abad pertengahan dengan kitabnya Fathul Bari. Kitab ini adalah syarah atau penjelasan yang diakui paling detail menjelaskan tentang Kitab Shahih Bukhari. 

Lalu di Fikih, juga banyak ulama yang menulis kitab-kitab fikih. Baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali. Ada salah satu Ulama asal Nusantara yaitu Syaikh Muhammad Mahfudz Al-Tarmasi yang bermukim di Mekkah (w 1920). Beliau menulis kitab fikih yang menjadi rujukan dunia Islam hingga saat ini, terutama yang bermadzhab Syafi'i. Kitab Syaikh Mahfudz ini terkenal dengan sebutan Hasyiah At-Tarmasi dan ditulis pada abad 14 H (akhir periode tahun 1800 -an). 

Ada satu yang unik dan menjadi ciri khas dalam kitab-kitab fikih. Siapa pun Ulama yang menulis kitab fikih, seperti sudah kesepakatan, di bab pertama selalu membahas tentang thoharoh (bersuci). Berwudhu, mandi besar, tayammun dst. Tentu ada makna filosofis tersendiri, yaitu bahwa bersuci adalah hal yang agung dan utama dalam Islam. Kesucian adalah gerbang aktifitas seorang muslim. Semua ibadah harus dilakukan dalam keadaan badan kita bersih dan suci dari hadas kecil dan besar. Tidak hanya kebersihan dan kesucian lahir, pun dengan batin, diharapkan selalu kebersihan dan kesuciannya dari segala syak wasangka.
Mauhibah Dzî al-Fadhal Hâsyiah ‘alâ Syarh Ibn Hajar ‘alâ Muqaddimah Bâ-Fadhal” atau “al-Manhal al-‘Amîm bi Hâsyiah al-Manhaj al-Qawwîm”

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/76172/kitab-fiqih-mazhab-syafii-terbesar-abad-20-karya-ulama-nusantara-

Lalu di cabang ilmu Tasawuf. Cabang ini berada pada titik pencatatan sebagai ilmu pada abad 3 H. Tampil Imam Junaid Al-Baghdadi yang meletakkan dasar-dasar ilmu Tasawuf, lalu Imam Ghazali di abad 4 H dengan salah satu kitabnya Ihya Ulumuddin, disusul Imam Athoillah As-Sakandary pada abad 6/7 H dengan salah satu kitabnya Al-Hikam serta masih banyak lagi Ulama alim allamah yang mewariskan kitab-kitab di cabang ilmu ini.
Baca juga pengertian tasawuf di Artikel: Tasawuf Sederhananya Begini 

Di ilmu Tafsir, ada Imam Thobari yang kitabnya menjadi induk bagi kitab-kitab tafsir setelahnya. Lalu ada Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi dengan Tafsir Jalalain. Ada Imam Qurthubi dengan Tafsir Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir dengan Tafsir Ibnu Katsir.

Belum lagi kitab-kitab yang ditulis oleh alim ulama lain pada abad pertengahan di mana masa ini merupakan era keemasan Islam. Ada Kitab Riyadus Sholihin karya Imam Nawawi. Ada Syaikh Az-Zarnuji yang menyusun kitab Taklim Mutaallim, yang berisi tuntunan adab bagi penuntut ilmu. Ada Ibnu Rusyd yang menulis kitab Bidayatul Mujtahid yang mengulas fikih perbandingan madzhab. Dan masih banyak lagi yang merupakan warisan khazanah keilmuan Islam.


Kembali kepada sorogan dan bandongan. Telah disebutkan di atas, bahwa sorogan dan bandongan adalah cara belajar ilmu agama dengan mengkaji suatu kitab dengan cara mengupas dan membahas huruf demi huruf, kata demi kata, lembar demi lembar sampai khatam dan berlanjut pada kitab-kitab berikutnya. 

Sorogan dan bandongan sendiri meski familiar di pesantren-pesantren di Indonesia, bisa dikatakan bukan merupakan tradisi asli Nusantara. Tapi diadaptasi dari cara pendidikan di dunia Islam sejak berabad-abad lalu. Bahkan sejak masa Rasulullah. Jadi ada guru yang duduk di tengah dikelilingi beberapa orang murid yang duduk di lantai. Namanya halaqoh.

Tidak salah jika cara ini disebut telah ada sejak zaman Nabi. Ketika mengajarkan Al-Quran atau Sunnah pada para Sahabat, Nabi juga demikian. Namun bedanya, waktu itu belum ada kitab atau buku. Lha wong yang bisa menulis masih hitungan jari. Nabi menjelaskan tentang sebuah ayat Al-Quran atau sunnah lalu ada sahabat yang bertugas mencatat.  

Salah satu sahabat yang bertugas mencatat wahyu adalah Zaid bin Tsabit. Karena belum ada kertas, maka ditulis di berbagai media seperti pelepah kurma dan kulit/tulang binatang. Tapi waktu itu Nabi menekankan, yang dicatat wahyu saja, yang berupa sabda (sunnah) dilarang untuk ditulis. Tujuannya, supaya tidak rancu mana yang wahyu mana yang hadist. Sedangkan sahabat yang belum dapat menulis, menyerap pelajaran dari Nabi dengan cara menghafal.

Ada sekelompok murid dalam madrasah Rasulullah yang dinamakan ahlussuffah. Mereka adalah sekelompok sahabat yang tinggal di bagian belakang masjid Nabawi.  Abu Hurairoh, sahabat yang terkenal paling banyak meriwayatkan hadist Nabi adalah "alumni" ahlussuffah.

Catatan: Pengumpulan dan penulisan hadist, baru dilaksanakan pada masa Tabi'in pada medio abad akhir 1 H hingga 3 H. Ketika itu sahabat-sahabat Nabi sebagai sumber utama hadist satu per satu mulai wafat. Jika tidak segera dibukukan akan semakin memutus mata rantai ilmu. Banyak ulama yang tampil di masa-masa pengumpulan dan penulisan hadis ini. Termasuk di antaranya adalah Imam Madzhab yang empat. Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali.


Jadi sorogan aslinya telah lama dipakai sebagai sistem transfer ilmu di dunia Islam. Makkah, Madinah, Kufah, Baghdad, Mesir, Sudan Libya, Maroko, Turki, Samarkhand dan sampai pula di Nusantara. 

Ambil contoh Imam Syafi'i. Beliau mengawali petualangan keilmuannya di Makkah. Setelah mengkhatamkan seluruh kitab-kitab di guru yang di Makkah, sang Guru menyarankan agar Imam Syafii  rihlah ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik yang lebih alim. Di Madinah, setelah mengkhatamkan kitab Al-Muwattho' karangan Imam Malik, Imam Syafii bertolak ke Irak untuk belajar pada guru-guru yang ada di sana. Salah satunya adalah Muhammad bin Al-Hasan yang merupakan murid dari Imam Hanafi. 

Setelah khatam dengan kitab-kitab dari sang guru di Irak, Imam Syafii bertolak ke Yaman dan terakhir di Mesir hingga beliau wafat dan dimakamkan di negeri itu.


Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa sorogan ini adalah sistem tradisional (memang kekurangan sistem ini kurang bisa mengeksplor sisi kritis santri). Padahal di lain pihak sistem ini sangat keren sekali karena urut dan terstruktur. Belajarmya dimulai dari yang kitab yang tipis dan mudah dahulu. Juga merupakan tradisi yang khas dalam Pendidikan Islam sejak berabad-abad lalu yang merupakan cikal bakal sistem pendidikan modern. 

Bahkan sejarah mencatat sistem ini ditiru oleh dunia barat. Mereka belajar perkelompok. Ada seorang profesor yang dikelilingi oleh sejumlah mahasiswa memegang buku yang sama dan dikaji bersama-sama dengan dipimpin sang profesor. Lalu ada lagi yang dinamakan toga, atau baju kebesaran para guru yang sudah ekspert yang lazim ditemukan di dunia barat bahkan juga di negeri kita, sebenarnya juga meniru jubah Ulama. Jadi dulu para Ulama jika mengajar memakai jubah dan surban yang bagus, semata demi menghormati kemuliaan ilmu.   Makanya  memakai jubah dan surban yang bagus ketika mengajar.

Begitu juga sistem belajar bandongan, ngaji kitab rutinan mingguan/bulanan yang diikuti 10-500 murid atau santri di Masjid pesantren (biasanya diampu Kyai sepuh). Ini kalau di perguruan tinggi dinamakan studium general. Cuma bedanya, kalau di bandongan tetap mengkaji kitab kata per kata, kalimat per kalimat dan lembar demi lembar, sedangkan di studium general adalah tematik. 

Ada satu tradisi unik terkait sistem sorogan dan bandongan. Karena mengharuskan santri memegang kitab sendiri-sendiri, di sejarah perjalanan pendidikan Islam, pernah tercatat sebuah tradisi literasi yang unik di setiap bulan Ramadhan, yaitu tradisi menyalin atau menulis ulang kitab-kitab. Kegiatan ini ramai dilaksanakan di era ketika teknologi percetakan belum secanggih sekarang.  Maka setiap murid yang akan ikut mengkaji sebuah kitab pada seorang guru pada tahun belajar berikutnya, harus menulis ulang/menyalin kitab-kitab itu di kertas masing-masing sehingga kelak ketika proses belajar telah dimulai mereka telah siap. 

Tradisi ini cukup menguntungkan. Karena menyalin ulang, maka paling tidak si murid telah membaca isi kitab yang akan dikaji, sehingga lebih siap dalam menerima pelajaran.

Ramadhan dipilih sebagai saat yang tepat bagi santri atau murid untuk menyalin kitab-kitab karena bulan ini adalah bulan mulia dan penuh dengan aroma literasi. Coba, Al-Qur'an turun pertama kali di bulan Ramadhan. Tidak hanya itu, ternyata kitab-kitab samawi lainnya juga turun di bulan Ramadhan. Suhuf Nabi Ibrahim, Taurat Nabi Musa, Zabur Nabi Daud dan Injil Nabi Isa, semuanya turun di bulan mulia bernama Ramadhan.  
***
Nah sekarang ini, sistem ngaji sorogan dan bandongan mulai banyak diminati masyarakat Islam secara umum. Di kota Malang sendiri sudah mulai banyak Majelis Taklim atau Masjid yang menyelenggarakan ngaji Kitab. Ada yang mingguan, dua minggunan dan bulanan. 

Untuk format kitabnya, tentu berbeda dengan yang dipakai di pesantren. Jika di pesantren, kitabnya adalah kitab kuning (bahkan gundul atau tanpa harokat) maka untuk ngaji kitab yang untuk umum, memakai kitab yang ada terjemahannya. Alhamdulillah sekarang sudah banyak kitab-kitab yang diterjemahkan oleh alim ulama. Jadi formatnya, di bagian atas adalah teks asli lalu di bawahnya atau sampingnya ada terjemahan baik bahasa Indonesia atau daerah.

Saya coba tulis beberapa jadwal di Masjid-masjid yang menyelenggarakan ngaji kitab, yang saya tahu.  

Di Masjid Sabilillah, ada ngaji kitab hadist Lubabul Hadist karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi yang diampu Ustadzah Nafisah tiap Senin jam 08.00. Kitab Sulamut Taufiq (Fikih dan Akhlak Tasawuf) karya Imam Nawawi Al-Bantani bersama Ustadz Ghozi, Senin jam 09.00. Ada ngaji Tafsir Al-Quran bersama Bu Nyai Adibah tiap Selasa jam 08.00. Tak ketinggalan ngaji Tasawuf yaitu Kitab Al-Hikam karya Imam Atho'illah tiap hari Rabu jam 08.00 bersama Gus Sulthon dan Kitab Ihya' Ulumuddin karya Imam Ghazali tiap Kamis jam 09.00. Juga ngaji kitab fikih khusus pernikahan Syarh Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al-Bantani.

Di Masjid Cahyaning Ati Permata Jingga,  ada ngaji Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghozali tiap Rabu sore ba'da Ashar. 

Di Masjid Ramadhan Griyashanta ada Ngaji Tafsir Surat Al-Baqoroh dan Ali Imron yang diampu Ustadz Ahmad Rois tiap Rabu jam 08.00. 

Di Masjid Agung Jami' Malang ada jadwal ngaji kitab mulai dari Senin-Minggu yang diampu Kyai sepuh Kota Malang. Tapi kebetulan saya belum hafal karena belum pernah ikut Ngaji di sana. 

Lalu di Majelis Taklim Aisyah Sigura-gura ada ngaji Kitab Bidayatul Hidayah (Fikih dan akhlak tasawuf) karya Imam Ghozali tiap Jumat ke-2 dan ke-4 jam 09.00 yang diampu Ustadzah Nafisah.  

Keuntungan ngaji kitab adalah kita belajar secara urut, mulai dari awal atau dasar. Memang ngaji model ini memerlukan keistiqomahan yang luar biasa. Harus diajeni, ditelateni. Di ngaji tafsir bersama Ustadz Rois di Masjid Ramadhan Griyashanta, tiap pertemuan yang durasi dua jam kadang hanya "dapat" 2 atau tiga ayat saja. Huruf per hurufnya, kata perkata hingga per kalimatnya dikupas, dengan rujukan kitab-kitab tafsir besar. 



Juga di ngaji kitab hadis Lubabul Hadist di Masjid Sabilillah hampir tiga tahun dan Alhamdulillah hampir khatam. Di ngaji Kitab Bidayatul Hidayah di Sigura-gura, dapat dua tahun belum sampai separuh kitab. Namun dengan demikian, Inshaallah karena dimulai dari awal, akan didapat pemahaman yang lebih kuat. Biidznillah.

Demikian artikel tentang metode sorogan atau bandongan. Semoga ada manfaatnya. Terima kasih telah membaca. Wassalamualaikum wr wb.

Wallahua'lam
Malang, 3 Mei 2020/10 Ramadhan 1441 H 

Ditulis saat masa pandemi Covid-19

Comments

  1. Assalamu'alaikum, senang membaca penjelasan tentang ngaji sorogan dan bandongan, walaupun sy tdk alumnus pesantren, tp suami sy dulunya seorang santri dan pernah ngaji sorogan, alhamdulillah lewat penjelasan ini sy semakin memahami dunia pesantren, syukron

    ReplyDelete

Post a Comment